Jika andrea hirata mencari cinta sejatinya hingga menjelajahi daratan Rusia dan Eropa sampai panas kering di gurun Sahara dan akhirnya menemukan desa Edensor yang menawan.
hmmm.... menurut ku, aku tak perlu menjelajahi dunia untuk melihat dunia yang jaaauuuh lebih indah...
dan inilah edensor ku...kota ku yang tak kalah menawan, keindahan yang tersembunyi... :D
Danau lut tawar merupakan salah satu keindahan alam kebanggan untuk masyarakat Aceh Tengah. Danau ini
terletak di Kecamatan Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, Kota Takengon,
Nangroe Aceh Darussalam. Luasnya yang memncapai 5.472 hektar,
menjadikan danau ini yang terluas di Provinsi Aceh.
Perbukitan hijau yang ditumbuhi pohon pinus, awan bersih dan langit
biru dipantulkan air danau yang tenang membuat permukaan danau seperti
kaca. Belum lagi udara yang sejuk karena berada di dataran
tinggi. keindahannya akan membuat kita terpesona dan bersyukur atas ciptaanNya yang Luar Biasa Indah... ;)
Penyakit
diabetes mellitus (DM) yang juga dikenal sebagai penyakit kencing manis atau
penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat adanya gangguan system
metabolism dalam tubuh, dimana organ pangkreas tidak mampu memproduksi hormone
insulin sesuai kebutuhan tubuh.
Insulin adalah
salah satu hormone yang diproduksi oleh pangkreas yang bertanggung jawab untuk
mengontrol jumlah atau kadar gula dalam darah dan insulin dibutuhkan untuk
merubah (memproses) karbohidrat, lemak, dan protein menjadi energy yang
diperlukan tubuh manusia. Hormone insulin berfungsi menurunkan kadar gula dalam
darah.
Tanda dan gejala diabetes
mellitus
Tanda awal
yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM atau kencing manis yaitu
dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana peningkatan
kadar gula dalam darah mencapai nilai 160-180 mg/dl dan air seni (urine)
(glucose), sehingga urine sering dilebung (dikerubuti semut.
Penderita
kencing manis umumnya menampakkan tanda dan gejala dibawah ini meskipun tidak
semua dialami oleh penderita:
1.Jumlah urine yang dikeluarkan lebih banyak
(polyuria)
2.Sering atau cepat merasa haus/dahaga
(polydipsia)
3.Lapar yang berlebihan/makan banyak (polyphagia)
4.Frekwensi urine meningkat/kencing terus
(Glycosuria)
5.Kehilangan berat badan yang tidak jelas sebabnya
6.Kesemutan/mati rasa pada ujung syaraf ditelapak
tangan dan kaki
Kondisi kadar
gula yang drastis menurun akan cepat menyebabkan seseorang tidak sadarkan diri
bahkan memasuki tahapan koma. Gejala kencing manis dapat berkembang dengan
cepat waktu ke waktu dalam hitungan minggu atau bulan, terutama pada seorang
anak yang menderita penyakit diabetes
mellitus tipe I.
Lain halnya
pada penderita diabetes mellitus tipe 2, umumnya mereka tidak mengalami
berbagai gejala diatas. Bahkan mereka tidak mengetahui telah menderita kencing
manis.
Tipe penyakit diabetes mellitus
1.Diabetes
mellitus tipe I
Diabetes tipe I
adalah diabetes yang bergantung pada insulin dimana tubuh kekurangan hormone
insulin, dikenal dengan istilah insulin dependent.
Diabetes
mellitus (IDDM). Hal ini disebabkan hilangnya sel beta penghasil insulin pada
pulau-pulau langerhans pangkreas. Diabetes tipe I banyak ditemukan pada balita,
dan anak-anak dan remaja.
Sampai saat ini
diabetes mellitus tipe I hanya dapat diobati dengan pemberian terapi insulin
yang dilakukan secara terus menerus berkesinambungan.
Riwayat
keluarga, diet dan factor lingkungan sangat mempengaruhi perawatan penderita
diabetes tipe I.
Pada penderita
diabetes tipe I haruslah diperhatikan pengontrolan dan memonitor kadar gula
darahnya, sebaiknya menggunakan alat tes gula darah. Terutama pada anak-anak
atau balita yang mana mereka sangat mudah mengalami dehidrasi, sering muntah
dan terserang penyakit
2.Diabetes
Mellitus tipe II
Diabetes mellitus
tipe II adalah dimana hormone insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan
semestinya, dikenal dengan istilah non-insulin dependent diabetes mellitus
(NIDDM). Hal ini dikarenakan berbagai kemungkinan seperti kecacatan dalam
memproduksi insulin, resistensi terhadap insulin atau berkurangnya sensitivitas
(respon) sel dan jaringan tubuh terhadap insulin yang ditandai dengan
meningkatkan kadar insulin dalam darah.
Ada beberapa
teori yang mengutarakan sebab terjadinya resisten terhadap insulin, diantaranya
factor kegemukan (Obesitas) pada penderita diabetes tipe II, pengontrolan kadar
gula darah dapat dilakukan dengan beberapa tindakan seperti diet, penurunan
berat badan dan pemberian tablet diabetic.
Apabila dengan
pemberian tablet belum maksimal respon penanganan level gula dalam darah, maka
obat suntik mulai dipertimbangkan untuk diberikan.
Kadar gula dalam
darah
Normalnya kadar
gula dalam darah berkisar antara 70-150 mg/dl millimoles/liter (satuan unit
united kingdom) atau 4-8 mmol/l (milligrams/deciliter (satuan unit united
states)) dimana 1 mmol/l = 18 mg/dl.
Diagnose
diabetes dapat ditegakkan jika hasil pemeriksaan gula darah puasa mencapai
level 126 mg/dl atau bahkan lebih, dan pemeriksaan gula darah 2 jam setelah
puasa (minimal 8 jam) mencapai level 180 mg/dl. sedangkan pemeriksaan gula
darah yang dilakukan secara random (sewaktu) dapat membantu diagnose diabetes
jika nilai kadar gula darah mencapai level antara 140 mg/dl dan 200 mg/dl,
terlebih lagi bila >200 mg/dl.
Banyak alat test gula darah yang diperdagangkan saat ini
dan dapat dibeli dibanyak tempat penjualan alat kesehatan atau apotik seperti
Accu-Chek, BCJ Group, Accurate, One Touch Ultra Easy Machine. Bagi penderita
yang terdiagnosa diabetes mellitus, ada baiknya bagi mereka jika mampu untuk
membelinya.
Pengobatan dan
penanganan penyakit diabetes
Penderita
diabetes tipe I umumnya menjalani pengobatan terapi insulin (Lantus/Levemir,
Humalog, Novolog atau Apidra) yang berkesinambungan, selain itu adalah dengan
berolahraga secukupnya serta melakukan pengontrolan menu makanan (diet)
Pada penderita
diabetes mellitus tipe II, penatalaksanaan pengobatan dan penanganan difokuskan
pada gaya hidup dan aktivitas fisik. Pengontrolan nilai kadar gula dalam darah
adalah menjadi kunci program pengobatan, yaitu dengan mengurangi berat badan,
diet, dan berolahraga. Jika hal ini tidak mencapai hasil yang diharapkan, maka
pemberian obat tablet akan diperlukan. Bahkan pemberian suntikan insulin turut
diperlukan bila tablet tidak mampu mengatasi pengontrolan kadar gula darah.
Autisme berasal dari
kata auto yang berarti berdiri
sendiri, karena penyandang autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri.
Istilah autisme baru diperkenalkan tahun 1943 oleh Leo Kramer sekalipun
kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau (Handojo, 2008)
Autisme adalah ganguan
perkembangan yang terjadi pada anak yang mengalami kondisi menutup diri.
Gangguan ini mengakibatkan anak mengalami keterbatasan dari segi komunikasi,
interaksi sosial, dan perilaku “Sumber dari Pedoman Pelayanan Pendidikan Bagi
Anak Autisme” (American Psychiatic
Association, 2000).
Autisme merupakan
keadaan yang sangat mengganggu perkembangan anak. Gangguan kemampuan
berinteraksi dengan orang lain dan teman sebayanya, gangguan berkomunikasi dan
berbahasa, serta berbagai perilaku yang tidak sesuai dengan umur perkembangan
anak tentunya akan sangat menghambat proses tumbuh kembang anak. Autisme adalah
kelainan perkembangan anak yang masuk dalam kelompok pervasive Developmental Disorder (PDD). PDD merupakan kelompok
kelainan perkembangan pada anak yang sifatnya luas dan kompleks, mencakup aspek
interaksi sosial, kognisi, bahasa dan motorik (Pusponegoro, 2007).
Perilaku autisme
digolongkan dalam 2 jenis, yaitu:
1.Perilaku
eksesif (berlebihan)
Yang
termasuk perilaku eksesif adalah hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa
menjerit, menyepak, menggigit, mencakar, memukul, dsb. Disini juga sering
terjadi anak menyakiti diri sendiri (self
abuse).
2.Perilaku
defisit (berkekurangan)
Perilaku
defisit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai (naik
kepangkuan ibu bukan untuk kasih sayang tapi untuk meraih kue), defisit
sensoris sehingga dikira tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat,
misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun.
2.Penyebab
Autisme
Berbagai penelitian
terus dilakukan untuk mencari penyebab autisme, mengingat jumlah anak yang
menderita autisme ini terus bertambah. Sekitar 20 tahun yang lalu, penyebab
autisme masih merupakan misteri. Sekarang, berkat alat kedokteran yang semakin
canggih, diperkuat dengan autopsi, ditemukan penyebabnya antara lain gangguan
neurobiologis pada susunan saraf pusat (otak).
Biasanya gangguan ini
terjadi dalam tiga bulan pertama masa kehamilan, bila pertumbuhan sel-sel otak
di beberapa tempat tidak sempurna. Penyebabnya bisa karena virus (toxoplasmosis, cytomegalo, rubella dan herpes) atau jamur (candida) yang ditularkan oleh ibu ke
janin. Bisa juga karena semasa hamil sang ibu mengkonsumsi atau menghirup zat
yang sangat polutif, yang meracuni janin. Kekurangan jumlah sel otak ini tidak
mungkin diperbaiki dengan cara apapun. Namun ternyata setiap penyandang mempunyai
cara berbeda untuk mengatasi kekurangan tersebut. Sebaliknya, ada makanan
tertentu yang mempunyai pengaruh memperberat gejala. Ada pula penderita yang menderita gangguan
pencernaan, metabolisme, serta imunodefisiensi dan alergi (Veskarisyanti,
2008).
Penyebab autisme menurut Elvi (2008) adalah sebagai
berikut:
1.Faktor Psikogenik
Ketika
autisme pertamakali ditemukan tahun 1943 oleh Leo Kanner, autisme diperkirakan
disebabkan pola asuh yang salah. Kasus-kasus perdana banyak ditemukan pada
keluarga kelas menengah dan berpendidikan, yang orangtuanya bersikap dingin dan
kaku pada anak. Kanner beranggapan sikap keluarga tersebut kurang memberikan
stimulasi bagi perkembangan komunikasi anak yang akhirnya menghambat perkembangan kemampuan komunikasi dan interaksi
sosial anak.
Pendapat Kanner ini disebut dengan teori Psikogenik yang
menerangkan penyebab autisme dari faktor-faktor psikologis, dalam hal ini
perlakuan / pola asuh orangtua. Namun penelitian-penelitian selanjutnya tidak
menyepakati pendapat Kanner. Alasannya, teori psikogenik tidak mampu
menjelaskan ketertinggalan perkembangan kognitif, tingkah laku maupun komunikasi
anak autisme. Penelitian-penelitian selanjutnya lebih memfokuskan kaitan faktor-faktor
organik dan lingkungan sebagai penyebab autisme. Kalau semula penyebabnya lebih
pada faktor psikologis, maka saat ini bergeser ke faktor organik dan lingkungan.
2.Faktor biologis dan lingkungan
Seperti gangguan perkembangan lainnya, autisme dipandang sebagai
gangguan yang memiliki banyak sebab dan antara satu kasus dengan kasus lainnya
penyebabnya bisa tidak sama. Penelitian tentang faktor organik menunjukkan adanya
kelainan/keterlambatan dalam tahap perkembangan anak sehingga autisme kemudian
digolongan sebagai gangguan dalam perkembangan (developmental disorder)
yang mendasari pengklasifikasian dan diagnosis dalam DSM IV.
Hasil pemeriksaan laboratorium, juga MRI dan EEG tidak memberikan
gambaran yang khas tentang penyandang autisme, kecuali pada penyandang autisme
yang disertai dengan gangguan kejang. Temuan ini kemudian mengarahkan dugaan
neurologis terjadi pada abnormalitas fungsi kerja otak, dalam hal ini neurotransmitter
yang berbeda dari orang normal.
Neurotransmitter merupakan cairan kimiawi yang berfungsi
menghantarkan impuls dan menerjemahkan respon yang diterima. Jumlah
neurotransmitter pada penyandang autisme berbeda dari orang normal dimana
sekitar 30-50% pada penderita autisme terjadi peningkatan jumlah serotonin
dalam darah (Nikita,2002). Selanjutnya, penelitian kemudian mengarahkan
perhatian pada faktor biologis, diantaranya kondisi lingkungan, kehamilan ibu,
perkembangan perinatal, komplikasi persalinan, dan genetik.
Kondisi lingkungan seperti kehadiran virus dan zat-zat kimia/
logam dapat mengakibatkan munculnya autisme (autismsociety org, 2002).
Zat-zat beracun seperti timah (Pb) dari asap knalpot mobil, pabrik dan cat
tembok; kadmium (Cd) dari batu baterai serta turunan air raksa (Hg) yang
digunakan sebagai bahan tambalan gigi (Amalgam).
Apabila tambalan gigi digunakan pada calon ibu, amalgam akan
menguap didalam mulut dan dihirup oleh calon ibu dan disimpan dalam tulang.
Ketika ibu hamil, terbentuklah tulang anak yang berasal dari tulang ibu yang
sudah mengandung logam berat. Selanjutnya proses keracunan logam beratpun
terjadi pada saat pemberian Asi dimana logam yang disimpan ibu ikut dihisap
bayi saat menyusui. Sebuah vaksin, MMR (Measles, Mumps & Rubella) awalnya
juga diperkirakan menjadi penyebab autisme pada anak akibat anak tidak kuat
menerima campuran suntikan tiga vaksin sekaligus sehingga mereka mengalami
kemunduran dan memperlihatkan gejala autisme.
Sampai saat ini diduga faktor genetik berpengaruh kuat atas
munculnya kasus autisme. Dari penelitian pada saudara sekandung (siblings) anak penyandang autisme
terungkap mereka mempunyai peningkatan kemungkinan sekitar 3% untuk
dinyatakan autisme. Sementara penelitian pada anak kembar juga didapat hasilyang mendukung. Sayangnya harus diakui populasi
anak kembar sendiri memangtidak banyak di
masyarakat sehingga menggunakan sampel kecil . Penelitian padakembar identik 1 telur menunjukkan bahwa mereka
memiliki kemungkinan yanglebih besar untuk diagnosis
autisme bila saudara kembarnya autisme (Nikita, 2002).
Beberapa
faktor lainnya yang juga telah diidentifikasi berasosiasi dengan autisme
diantaranya adalah usia ibu (makin tinggi usia ibu, kemungkinan menyandang
autisme kian besar), urutan kelahiran, pendarahan trisemester pertama dan kedua
serta penggunaan obat yang tak terkontrol selama kehamilan (Elvi, 2008).
3.Gejala
Autisme
a.Gangguan
dalam bidang komunikasi verbal maupun non-verbal
1.Terlambat
bicara atau tidak dapat berkomunikasi
2.Mengeluarkan kata-kata yang tidak dapat
dimengerti orang lain yang sering di sebut sebagai “bahasa planet”.
3.Tidak mengerti dan tidak mengeluarkan
kata-kata dalam konteks yang sesuai (gangguan bahasa ekspresif dan reseptif)
4.Bicara tidak digunakan untuk
berkomunikasi
5.Meniru atau membeo (ekolalia). Beberapa
anak sangat pandai menirukan nyanyian, nada maupun kata-katanya, tanpa mengerti
artinya.
6.Kadang bicaranya monoton seperti robot
7.Mimik datar
b.Gangguan
dalam bidang interaksi sosial
1.Menolak atau menghindar untuk bertatap
mata
2.Tidak menoleh bila di panggil. Karena
hal ini sering di duga bahwa anak mengalami ketulian
3.Merasa tidak senang dan menolak bila
dipeluk
4.Tidak ada usaha untuk melakukan
interaksi dengan orang lain
5.Bila ingin sesuatu, ia menarik tangan
orang yang terdekat dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu
untuknya.
6.Bila didekati untuk bermain justru
menjauh
7.Tidak berbagi kesenangan untuk orang
lain
c.Gangguan
dalam bidang perilaku dan bermain
Umumnya mereka
seperti tidak mengerti cara bermain. Bermain sangat monoton, stereotipik. Bila
sudah senang dengan satu mainan tidak mau mainan yang lain dan cara bermainnya
juga aneh. Yang paling sering adalah keterpakuan pada roda atau sesuatu yang
berputar.
d.Gangguan
dalam bidang perasaan/emosi
1.Tidak ada atau kurang rasa empati,
misalnya melihat anak menangis ia tidak merasa kasihan tetapi justru merasa
terganggu dan anak yang sedang menangis tersebut mungkin akan didatangi dan
dipukulinya.
2.Tertawa-tawa sendiri, menangis atau
marah-marah tanpa sebab yang nyata.
3.Sering mengamuk tak terkendali
(tempertantrum), terutama bila tidak mendapatkan yang diinginkannya, ia bahkan
bisa menjadi agresif (menyerang) dan destruktif (merusak).
e.Gangguan
dalam persepsi sensoris
1.Mencium-cium atau menjilati benda apa
saja
2.Bila mendengar suara keras langsung
menutup telinga
3.Tidak menyukai rabaan atau pelukan. Bila
digendong cenderung merosot untuk melepaskan diri.
4.Merasa sangat tidak nyaman bila memakai
pakaian dari bahan tertentu.
Autisme yang sering melanda anak-anak sudah tampak
sebelum anak tersebut mencapai umur 3 tahun. Menurut Veskarisyanti (2008)
perkembangan yang terganggu pada anak yang mengalami autisme adalah dalam
bidang:
1.Komunikasi
Munculnya kualitas komunikasi yang tidak normal,
ditunjukkan dengan:
a.Kemampuan wicara tidak berkembang atau
mengalami keterlambatan.
b.Pada anak tidak tampak usaha untuk
berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.
c.Tidak mampu untuk memulai suatu
pembicaraan yang melibatkan komunikasi dua arah dengan baik
d.Anak tidak imajinatif dalam hal
permainan atau cenderung monoton
e.Bahasa tidak lazim yang selalu
diulang-ulang atau stereotipik
2.Interaksi sosial
Timbulnya gangguan kualitas interaksi social yaitu:
Anak
mengalami kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan wajah yang tidak
berekspresi.
Ketidakmampuan
untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan dan melakukan
sesuatu bersama-sama
Ketidakmampuan
anak untuk berempati, dan mencoba membaca emosi yang dimunculkan oleh
orang lain.
3.Perilaku
Aktivitas, perilaku,
dan ketertarikan anak sangat terbatas. Banyak pengulangan terus-menerus dan
stereotipik seperti:
a.Adanya suatu kelekatan pada rutinitas
dan ritual yang tidak berguna, misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu,
sikat gigi, pakai piyama, menggosokkan kaki di keset, baru naik ke tempat
tidur. Bila ada satu dari aktivitas diatas yang terlewat atau terbalik
urutannya, maka ia akan sangat terganggu dan menangis bahkan berteriak-teriak
minta diulang.
b.Adanya suatu preokupasi yang sangat
terbatas pada suatu pola perilaku yang tidak normal, misalnya duduk di pojok
sambil menghamburkan pasir seperti hujan, yang bisa dilakukan berjam-jam.
Selain itu munculnya preokupasi dengan bagian benda / mainan tertentu yang
tidak berguna, seperti roda sepeda yang diputar-putar, benda dengan bentuk dan
rabaan tertentu yang terus diraba-rabanya, suara-suara tertentu.
c.Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang
diulang-ulang, seperti menggoyang-goyang badan, geleng-geleng kepala.
4.Gangguan sensoris
a.Sangat sensitive terhadap sentuhan,
seperti tidak suka dipeluk.
b.Bila mendengar suara keras langsung
menutup telinga.
c.Senang mencium-cium, menjilat mainan
atau benda-benda.
d.Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan
rasa takut.
5.Pola bermain
a.Tidak bermain seperti anak-anak pada
umumnya.
b.Tidak suka bermain dengan anak
sebayanya.
c.Tidak bermain sesuai fungsi mainan,
misalnya sepeda di balik lalu rodanya di putar-putar.
d.Menyenangi benda-benda yang berputar,
seperti kipas angin, roda sepeda.
e.Dapat sangat lekat dengan benda-benda
tertentu yang dipegang terus dan dibawa ke mana-mana.
6.Emosi
a.Sering marah-marah tanpa alasan yang
jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasan
b.Tempertantrum
(mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya
c.Kadang suka menyerang dan merusak,
berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri, serta tidak mempunyai empati dan
tidak mengerti perasaan orang lain.
Selain tanda-tanda diatas, anak yang mengalami
autisme juga menunjukkan gejala gangguan sensori yaitu adanya kebutuhan untuk
menggigit-gigit benda. Serta cenderung tidak suka dibelai dan dipeluk sekalipun
itu oleh orang tua mereka. Gangguan ini lebih sering terjadi pada anak
laki-laki dari pada anak perempuan, dengan perbandingan 3 : 1 (Veskarisyanti,
2008)
4.Kriteria
Diagnostik Autisme
Menurut Pusponegoro (2007), diagnostik DSM IV kriteria
gangguan autisme adalah sebagai berikut:
A.Terdapat enam atau lebih gejala dari
kriteria (1),(2) dan (3), dengan minimal
2 gejala dari kriteria (1) dan masing-masing 1 gejala dari kriteria (2) dan (3)
:
Kelemahan
kualitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalam sedikitnya 2
dari beberapa gejala berikut ini :
a)Kelemahan dalam penggunaan perilaku
nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah, sikap tubuh dan gerak terhadap
rutinitas dalam interaksi sosial.
b)Kegagalan dalam membentuk hubungan
dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
c)Kurangnya kemampuan untuk berbagi
perasaan dan empati dengan orang lain.
d)Kurang sosialisasi atau emosi yang labil
Kelemahan
kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala
berikut ini:
a)Perkembangan bahasa lisan (bicara)
terlambat atau sama sekali tidak berkembang dan anak tidak mencari jalan untuk
berkomunikasi secara non verbal.
b)Bila anak bisa bicara, maka bicaranya
tidak digunakan untuk berkomunikasi
c)Sering menggunakan bahasa yang aneh atau
stereotype dan berulang-ulang.
d)Kurang mampu bermain imajinatif (make
believe play) atau permainan imitasi sosial lainnya sesuai dengan taraf
perkembangannya.
Pola
perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang. Minimal harus
ada 1dari gejala berikut ini :
a)Keasyikan yang meliputi satu atau lebih
stereotip atau kelainan dalam intensitas maupun fokus ketertarikan akan sesuatu
yang terbatas.
b)Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik
atau rutinitas.
c)Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan
berulang-ulang seperti menggerak-gerakkan tangan, bertepuk tangan,menggerakkan
tubuh.
d)Sikap tertarik yang sangat kuat/
preokupasi dengan bagian-bagian tertentu dari obyek.
B.Keterlambatan atau abnormalitas muncul
sebelum usia 3 tahun minimal pada salah satu bidang:
1)Interaksi sosial,
2)Kemampuan bahasa dan komunikasi,
3)Cara bermain simbolik dan imajinatif.
C.Gangguan ini tidak disebabkan oleh
Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak
2.
Terapi Autisme
1.Pola
penanganan terpadu
Penanganan terpadu
harus secepat mungkin dilaksanakan bila diagnosis autisme sudah terbentuk.
Meskipun kelalaian yang ada di otak tidak dapat disembuhkan, namun dengan pola
penanganan terpadu dan intensif, gejala-gejala autisme dapat dikurangi bahkan
dihilangkan, sehingga di harapkan bisa berbaur dan hidup mandiri dalam
masyarakat normal (Maulana, 2007).
Keberhasilan terapi
tergantung dari beberapa factor:
a.Berat atau ringannya gejala. Hal ini
tentu saja tergantung dari berat ringannya gangguan yang ada di dalam sel otak
sendiri.
b.Umur. Diagnosis ini sangatlah penting,
sebab semakin muda umur anak pada saat terapi dimulai, semakin besar
kemungkinan untuk berhasil. Dikatakan bahwa umur yang ideal adalah antara umur
2-5 tahun, dimana sel otak masih bisa dirangsang untuk membentuk cabang-cabang
neuron baru.
c.Kecerdasan. Makin cerdas anak tersebut
makin cepat dia bisa mengungkapkan hal-hal yang diajarkan kepadanya.
d.Bicara dan berbahasa. Tidak semua
penyandang autisme berhasil mengembangkan fungsi bicara dan berbahasanya. 20%
dari penyandang autisme tidak mampu berbicara seumur hidup, sedangkan sisanya
ada yang bisa berbicara namun sulit dan kaku. Namun, ada pula yang bisa
berbicara dengan lancar. Mereka yang fungsi bicara dan berbahasanya baik, tentu
saja lebih mampu diajar berkomunikasi.
e.Intensitas dan terapi. Penanganan pada
penyandang autisme harus dilakukan dengan sangat intensif. Beberapa pakar
mengatakan bahwa terapi secara formal sebaiknya dilakukan antara 4-8 jam
sehari. Namun, disamping itu, seluruh keluarga pun harus ikut terlibat
melakukan komunikasi dengan anak sejak anak tersebut bangun pagi hingga siap
tidur pada malam hari (Maulana, 2007).
Terapi perlu diberikan
untuk membangun kondisi yang lebih baik. Terapi juga harus rutin dilakukan agar
apa yang menjadi kekurangan anak dapat terpenuhi secara bertahap. Bagi orang
tua anak dengan kelainan ini disarankan oleh para ahli untuk menggunakan metode
ABA dengan
rutin dan disiplin tinggi.
Perlu diingat bahwa
terapi harus diberikan sedini mungkin sebelum anak berusia 5 tahun. Sebab,
perkembangan pesat otak anak umumnya terjadi pada usia sebelum 5 tahun,
tepatnya puncak pada usia 2-3 tahun (Veskarisyanti, 2008).
Jenis terapi yang bisa
dilakukan pada anak autisme menurut Handojo (2008) adalah sebagai berikut:
a.Terapi perilaku
1)Terapi
okupasi
Sebagian penyandang kelainan perilaku, terutama
autisme, juga mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik. Gerak-geriknya
kasar dan kurang luwes bila dibanding dengan anak-anak seumurnya. Pada
anak-anak ini perlu diberi bantuan terapi okupasi untuk membantu menguatkan,
memperbaiki koordinasi dan keterampilan ototnya. Otot jari tangan misalnya
sangat penting dikuatkan dan dilatih supaya anak bisa menulis dan melakukan
semua hal yang membutuhkan keterampilan otot jari tangannya, seperti menunjuk,
bersalaman, memegang raket, memetik gitar, main piano, dan sebagainya.
Para
terapis okupasi juga sering kali memakai Sensory
Integration (SI) untuk menterapi kelainan sensoris pada anak autisme. Namun
dari banyak penelitian yang telah dilakukan, dibuktikan bahwa SI saja tidak
dapat meningkatkan perilaku anak, bahkan sering mengakibatkan kemunduran
perilaku, dan tidak berhasil menghilangkan ataupun mengurangi perilaku-perilaku
aneh dari anak (Handojo, 2008).
2)Terapi
wicara
Bagi anak dengan speech
delay, maka terapi wicara merupakan pilihan utama. Untuk memperoleh hasil
yang optimal, materi speech therapy
sebaiknya dilaksanakan dengan metoda ABA
(Applied Behaviour Analysis).
Bagi penyandang autisme oleh karena semua penyandang
autisme mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa, speech therapy adalah juga suatu
keharusan, tetapi pelaksanaannya harus dengan metoda ABA. Menerapkan terapi wicara pada penyandang
autisme berbeda dengan pada anak lain. Terapis harus berbekal diri dengan
pengetahuan yang cukup mendalam tentang gejala dan gangguan bicara yang khas
bagi penyandang autisme. Mereka juga harus memahami langkah-langkah metode
lovaas sebagai kunci masuk bagi materi yang akan diajarkan.
Banyak speech
therapist yang mencoba menterapi anak, terutama yang autisme, tanpa metoda ABA. Mereka seringkali
mengalami kegagalan dan frustasi. Jadi sekalipun mencoba terapi wicara pada
anak autisme, penting sekali menggabungkannya dengan metoda Lovaas, agar
hasilnya terlihat nyata (Handojo, 2008).
3)Sosialisasi
dengan menghilangkan perilaku yang tidak wajar
Untuk menghilangkan perilaku yang tidak dapat
diterima oleh umum, perlu dimulai dari kepatuhan dan kontak mata. Kemudian
diberikan pengenalan konsep atau kognitif melaui bahasa reseptif dan ekspresif.
Setelah itu barulah anak dapat diajarkan hal-hal yang bersangkutan dengan
tatakrama, dan sebagainya.
Agar seluruh perilaku sosial dapat ditekan, maka
penting sekali diperhatikan bahwa anak jangan dibiarkan sendirian, tetapi
harus selalu ditemani secara interaktif,
baik yang bersangkutan dengan akademik, bina diri, keterampilan motorik,
sosialisasi, dan sebagainya. Dan jangan lupa, sediakanlah dan berikanlah
imbalan yang efektif (Handojo, 2008).
b.Terapi biomedik
Obat-obatan juga dipakai terutama untuk penyandang
autisme, tetapi sifatnya sangat individual dan perlu berhati-hati. Dosis dan
jenisnya sebaiknya diserahkan kepada dokter spesialis yang memahami dan
mempelajari autisme (biasanya Dokter Spesialis Jiwa Anak). Baik obat maupun
vitamin hendaknya diberikan secara sangat berhati-hati, karena baik obat maupun
vitamin dapat memberikan efek yang tidak dikehendaki. Vitamin banyak
dicampurkan pada nutrisi khusus, karena itu telitilah lebih dahulu sebelum
membeli dan memberikannya kepada penyandang autisme.
Jenis obat, food
supplement dan vitamin yang sering dipakai saat ini untuk anak autisme
adalah risperidone (Risperdal), Ritalin, haloperidol, pyridoksin (vit
B6), DMG (vit B15), TMG, magnesium,
Omega-3 dan Omega-6, dsb. Obat efek samping perlu diberikan apabila
obat-obatan tersebut membawa efek samping yang menonjol. Sebaiknya tiap obat
dan vitamin yang diberikan kepada penyandang autisme dengan tujuan efek yang
sudah diketahui. Jangan sekali-sekali memberikan obat / vitamin secara
ikut-ikutan karena anak lain mendapat manfaat yang baik, oleh karena dosis
maupun khasiat obat terhadap anak autisme sangat individual. Efek serta efek
sampingnya perlu secara cermat diamati, sehingga diperoleh manfaat yang optimal
(Handojo, 2008).
c.Sosialisasi ke sekolah regular
Anak dengan kelainan perilaku, terutama penyandang
autisme yang telah mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik dapat
dicoba untuk memasuki sekolah normal sesuai dengan umurnya. Namun perlu diingat
bahwa terapi perilakunya jangan ditinggalkan, karena sangat besar kemungkinan
terjadi regresi yaitu perkembangan
perilaku anak yang mundur kembali. Sebaiknya keikutsertaan di sekolah normal
tetap dibarengi dengan penanganan perilaku yang tetap terus dikembangkan dan
dipelihara. Perlu diingat pula bahwa bagi anak dengan autisme yang masuk
sekolah normal harus dibayangi terus (oleh shadower atau helper). Bila terjadi
kesulitan komunikasi, anak dapat segera di prompt
atau di jembatani dengan instruksi yang dimengerti anak.
Di lingkungan sekolah normal, anak-anak ini dapat
dilatih untuk kemampuan komunikasi dan sosialisasi dengan anak-anak sebayanya.
Sedangkan materi akademiknya bila terjadi kesulitan, tetap dapat diajarkan
secara one-on-one (Handojo, 2008)
d.Sekolah (Pendidikan) Khusus
Pada sekolah (pendidikan) khusus ini dikemas khusus
untuk penderita autis yang meliputi terapi perilaku, wicara dan okupasi, bila
perlu dapat ditambahkan dengan terapi obat-obatan, vitamin dan nutrisi yang
memadai.
Pendidikan anak dengan kebutuhan khusus tidak dapat
disamakan dengan pendidikan normal, karena kelainannya sangat bervariatif dan
usia mereka juga berbeda. Program pendidikan untuk anak autisme sangat
terstruktur, menitikberatkan kepada kemampuan berkomunikasi dan sosialisasi
serta teknik pengelolaan perilaku positif. Strategi yang digunakan di dalam
kelas sebaiknya juga diterapkan di rumah sehingga anak memiliki lingkungan
fisik dan sosial yang tidak terlalu berbeda.
Dukungan pendidikan seperti terapi wicara, terapi
okupasional dan terapi fisik merupakan bagian dari pendidikan di sekolah anak
autisme. Keterampilan lainnya, seperti memasak, berbelanja atau menyeberang
jalan, akan dimasukkan ke dalam rencana pendidikan individual untuk
meningkatkan kemandirian anak. Tujuan keseluruhan untuk anak adalah membangun
kemampuan sosial dan berkomunikasi sampai ke tingkat tertinggi atau membangun
potensinya yang tertinggi (Handojo, 2008).
2.Metode
ABA atau LOVAAS
Metode ABA (Applied
Behaviour Analysis) adalah metode tatalaksana perilaku yang telah berkembang
sejak puluhan tahun yang lalu. Prof. DR. Ivar Lovaas dari university of California,Los Angeles
(UCLA) Amerika Serikat, menggunakan
metode ini secara intensif pada anak autisme. Melihat keberhasilannya, maka
Lovaas mulai mempromosikan metoda ini dan merekomendasikan untuk penanganaan
anak autisme, sehingga metode ini lebih dikenal sebagai metoda Lovaas.
Sebelum menerapkan
metoda ini pada anak, perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
A.Tujuan
Terapi
Tujuan terapi perlu ditetapkan dan diingat, baik bagi
orangtua yang mengorganisir tim terapis, maupun oleh para terapis sendiri. Hal
ini penting, oleh karena rutinitas dengan berbagai masalahnya seringkali
mengakibatkan penyimpangan terhadap tujuan yang di ingin dicapai. Hasil yang
ingin dicapai dari pelaksanaan terapi ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
dan kepatuhan akan aturan pada anak autisme (Pusponegoro, 2007). Menurut
Handojo (2008) tujuan terapi ini adalah:
1.Komunikasi
dua arah yang aktif.
Banyak orangtua anak yang telah merasa
puas dengan komunikasi 2 arah yang pasif. Anak mau menjawab saat ditanya. Hal
ini belum cukup, karena dalam kehidupan normal seorang anak dan individu dewasa
mampu berinisiatif memulai percakapan. Mereka juga mampu untuk bertanya bila
ada hal-hal yang ingin diketahuinya. Tujuan ini harus selalu diingat, sehingga
kecakapan anak dapat terus ditingkatkan sampai seperti atau mendekati kemampuan
orang yang normal.
2.Sosialisasi
ke dalam lingkungan yang umum, dan tidak hanya mampu dalam lingkungan keluarga.
Setelah anak mampu berkomunikasi, lakukan hal – hal yang menambah generalisasi.
Generalisasi menyangkut subyek atau orang lain, instruksi, obyek, respon anak
lingkungan yang berbeda–beda. Dengan memperkaya generalisasi ini, maka anak
akan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
3.Menghilangkan
atau menimimalkan perilaku yang tidak wajar. Perilaku yang aneh perlu segera
dihilangkan sebelum usia 5 tahun, agar tidak mengganggu kehidupan sosial anak
setelah dewasa. Banyak orangtua yang lebih memprioritaskan pada hal-hal yang
akademik, tetapi lalai dalam menangani perilaku yang tidak wajar ini. Pada usia
yang balita, tampaknya perilaku aneh yang ringan-ringan masih dianggap wajar
dan tidak terlalu menarik perhatian, misalnya mencium makanan sebelum dimakan,
memainkan tangan seperti melambai, dsb. Tetapi bila perilaku ini menetap terus
sampai usia yang lebih tua, bahkan tidak mustahil menetap sampai dewasa, maka
pasti perilaku ini akan menarik perhatian orang lain.
4.Mengajarkan
materi akademik.
Tidak perlu terburu-buru dan jangan
dijadikan prioritas tertinggi. Kemampuan akademik sangat bergantung pada
intelegensia atau IQ anak. Apabila IQ anak memang tidak termasuk di bawah
normal, maka kemampuan akademiknya juga pasti tidak sulit untuk dikembangkan.
Kemampuan akademik masih tetap bisa mulai di ajarkan pada usia yang lebih tua.
Memang tidak ada salahnya (bahkan memang seharusnya) mengajar kemampuan
akademik pada anak, tapi prioritas utama tetap pada kemampuan komunikasi dan
sosialisasi.
5.Kemampuan
bantu diri atau bina diri dan keterampilan lain.
Ini adalah kemampuan yang juga diperlukan
bagi setiap individu, agar dalam hal yang bersifat privacy, mampu dikerjakan sendiri tanpa dibantu orang lain. Makan,
minum, memasang dan melepas pakaian dan kaos kaki, toileting, gosok gigi, dsb.
Dapat diajarkan secara terus menerus sampai anak benar-benar menguasainya.
Disamping itu pada anak yang lebih besar dapat diajarkan keterampilan lain
seperti berenang, melukis, memasak, olahraga, dsb. Keterampilan ini akan sangat
bermanfaat, selain sebagai latihan motorik, juga untuk memupuk bakat anak, dan
dapat mengisi seluruh waktu anak.
B.Teori
Lovaas
Tekhnik lovaas yang
berdasarkan pada “behaviour modification”
atau “Discrete trial training”
menggunakan urutan : A-B-C. (A atau Antecedent = pra-kejadian) adalah pemberian
instruksi, misalnya pertanyaan, perintah, atau visual. Berikan waktu 3-5 detik
untuk si anak memberi respon. Dalam memberikan instruksi, perhatikan bahwa si
anak ada dalam keadaan siap (duduk, diam, tangan ke bawah). Suara dimana
instruksi tidak diulang. Untuk permulaan, gunakanlah satu kata perintah.
B atau behavoiur (perilaku) adalah respon anak.
Respon yang diharapkan haruslah jelas dan anak harus memberi respon dalam 3
detik, agar dapat meningkatkan perhatian anak.
C atau consequence (konsekuensi atau akibat).
Konsekuensi haruslah seketika, berupa reinforcer
(pendorong atau penguat) atau “tidak”.
Contohnya:
1)Untuk
respon yang BENAR; A- bila instruksi diberikan, yaitu “tepuk tangan”; B- anak
menepuk tangannya; C- terapis berkata “BAGUS” sebagai imbalan positif.
2)Untuk
respon yang SALAH; A- bila instruksi diberikan, yaitu: “tepuk tangan”; B- anak
melambaikan tangannya; maka C- terapis berkata “TIDAK”.
3)Tidak
ada respon; A- bila instruksi diberikan, yaitu: “tepuk tangan”; B- anak tidak
mengerjakan apa-apa; maka C- terapis akan mengatakan “LIHAT” atau “DENGAR” (prompt atau bantuan).
a.Reinforcers
Reinforcers
adalah konsekuensi yang diberikan setelah perilaku, dimana reinforcers ini akan memungkinkan perilaku itu untuk terulang dalam
kondisi yang sama. Reinforcers
positif akan berbentuk: pujian, pelukan, elusan, ataupun kelitikan yang
menyenangkan. Makanan dan minuman dapat dijadikan reinforcers, maupun aktivitas yang menyenangkan seperti menyanyi
dan menempelkan gambar-gambar.
Reinforcers
dapat berbentuk apa saja asalkan itu adalah sesuatu yang disenangi oleh anak
dan anak akan berperilaku lebih baik untuk mendapatkannya. Bila kita mengajarkan perilaku yang baru, imbalan
sebaiknya diberikan setiap kali si anak mengerjakan yang diperintahkan
kepadanya, walaupun kita memberikan bantuan atau prompt, untuk memberikan hasil yang baik.
Selanjutnya imbalan dapat dikurangi sedikit demi
sedikit dan dihilangkan sama sekali bila perilaku yang diinginkan sudah
terbentuk.
b.Prompt
Prompt
adalah bantuan atau apa saja yang bersifat membantu agar anak dapat menjawab
dengan benar. Setelah anak menjawab atau memberikan respon yang benar, lalu
diberikan reinforcers yang positif. Prompt diberikan saat anak tidak bisa
mengerjakan atau memberi respon.
Prompt
yang biasa diberikan:
1)Fisik
– Secara fisik anak di bantu untuk merespon dengan benar.
2)Model
– Anak diberi contoh agar dapat meniru dengan benar.
3)Verbal
– Mengucapkan kata yang benar untuk ditiru, atau menjelaskan apa yang harus
dikerjakan oleh anak, atau menanyakan misalnya, “apa lagi?”
4)Gestural
– Secara isyarat, dengan menunjuk, melirik, ataupun menggerakkan kepala.
5)Posisional
– Dengan meletakkan apa yang diminta lebih dekat dengan anak dari benda-benda
lainnya yang kita minta untuk membedakan.
C.Tekhnik
Applied Behaviour Analysis
Beberapa hal dasar
mengenai tekhnik-tekhnik ABA
adalah:
1.Kepatuhan
(compliance) dan kontak mata adalah
kunci masuk ke metode ABA.
Tapi sebenarnya metode apapun yang dipakai, apabila anak mampu patuh dan mampu
membuat kontak mata, maka semakin mudah mengajarkan sesuatu pada anak.
2.One-on One
adalah satu terapis untuk satu anak. Bila perlu dapat dipakai seorang co-terapis yang bertugas sebagai
prompter (pemberi prompt).
3.Siklus
dari discrete trial training, yang
dimulai dengan instruksi dan diakhiri dengan imbalan. Siklus penuh terdiri dari
3 kali instruksi, dengan pemberian tenggang waktu 3-5 detik pada instruksi ke-1
dan ke-2
1 siklus :
§Instruksi
1 = (tunggu 3-5 detik), bila respon tidak ada, lanjutkan dengan
§Instruksi
2 = (tunggu 3-5 detik), bila respon tidak ada, lanjutkan dengan
§Instruksi
3 = langsung lakukan prompt dan beri
imbalan
4.Fading
adalah mengarahkan anak ke perilaku target dengan prompt penuh, dan makin lama prompt
makin dikurangi secara bertahap sampai akhirnya anak mampu melakukan tanpa prompt.
5.Shaping
adalah mengajarkan sesuatu perilaku melalui tahap-tahap pembentukan yang
semakin mendekati respon yang dituju yaitu perilaku target.
6.Chaining
ialah mengajarkan sesuatu perilaku yang komplek, yang dipecah menjadi
aktivitas-aktivitas kecil yang disusun menjadi suatu rangkaian atau untaian
secara berurutan.
7.Discrimination
training adalah tahap identifikasi item dimana disediakan item pembanding.
Kedua item kemudian di acak di tempatnya, sampai anak benar-benar mampu
membedakan mana item yang harus diidentifikasi sesuai instruksi.
8.Mengajarkan
konsep warna, bentuk, angka, huruf, dll.
3.Pemilihan
terapi dirumah
Terapi perilaku metode ABA atau lovaas sebenarnya
bersifat “home base” terapi. Jadi
pelaksanaan terapi dirumah anak sebenarnya merupakan pilihan terbaik. Tapi hal
ini memerlukan beberapa persyaratan lain yaitu:
a.Pengetahuan
orangtua akan metode terapi
b.Pengelolaan
proses terapi menyangkut pengawasan dan pembinaan terapis
c.Ruangan
yang bebas distraksi, cukup sejuk dan cukup penerangan.
d.Meja
dan kursi anak. Dibutuhkan minimal 1 meja berukuran kecil dan 2-3 buah kursi
kecil yang pas untuk usia dan postur anak
e.Alat
peraga dan peralatan latihan motorik dan sensoris yang sesuai dengan materi
yang akan diberikan.
f.Evaluasi
proses secara periodik
g.Dana
yang cukup untuk membayar 2-3 orang terapis.
h.Terapis
yang handal dalam melakukan terapi perilaku.
Danuatmaja, Bonny.,
2004. Terapi Anak Autis dirumah,Jakarta: Puspa Swara.
Elvi., (2008). Autisme: Masa Kanak-kanakhttp://www.autismeUSU-masakanak.com.
Fakultas Kedokteran USU. dibuka 10 November 2009
Faisal, Yatim.,
2003. Autisme Suatu Gangguan Jiwa pada
Anak-Anak,Jakarta:
Pustaka Populer.
Handojo., 2008. Autisme: Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi
untuk Mengajar Anak Normal, Autis dan Perilaku Lain,Jakarta: BIP.
Maulana, Mirza.,
2007. Anak Autis: Mendidik Anak Autis dan
Gangguan Mental Lain Menuju Anak Cerdas dan Sehat, Jogjakarta: Kata HATI.
Pusponegoro,
Hardiono D., 2007. Apakah Anak Kita
Autis?, Bandung: Jhonson & Johnson Indonesia.
Safaria, Triantoro., 2005. Autisme:
Pemahaman Baru Untuk Hidup Bermakna Bagi
Orang Tua,Jogjakarta:
Graha Ilmu.
Setiadi, 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan,Jogjakarta: Graha Ilmu.
_____, 2008. Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga,Jogjakarta: Graha Ilmu.
Sudjana, 2002. Metode Statistika. Bandung: Tarsito
Umar lubis, Misbah.,
(2009). Penyesuaian Diri Orang Tua yang
Memiliki Anak Autishttp://www.autismeUSU.org.com skripsi
universitas sumatera utara, 2009. dibuka 10 februari 2010
Veskarisyanti A.
Galih., 2008. 12 Trapi Autis,Jogjakarta: Pustaka
Anggrek
Wresti., (2004). Kunci Keberhasilan Penyembuhan Autismehttp://KBI.Gemari.or.id.
dibuka 10 november 2009.