Senin, 28 Januari 2013

Antara Luka dan Cinta


Suatu ketika cinta bertanya pada sebatang pohon kurma, “mengapa kau bisa berdiri kokoh di tengah padang gersang?”. “mengapa kau malah tak bisa hidup di tempat yang sejuk dan rindang?”, Cinta melanjutkan.

Dengan tersenyum, pohon kurma menjelaskan, “mungkin kau anggap gersang sebagai luka, mungkin kau mengidentikkan gersang dengan kesengsaraan. Tapi bagiku, inilah cinta. Didalamnya aq tumbuh sebagai pohon kurma. Tidak sebagai yang lainnya. Justru ketika aq di tempatkan di tempat yang sejuk dan dingin, aq merasa terluka. Padahal kau menganggapnya cinta.

Lalu luka datang dan bertanya hal yang serupa pada pohon kurma. Pohon kurma memberikan jawaban yang sama. Lalu luka bertanya, “sebenarnya apa yang membedakan kami berdua?”. Pohon kurma kembali tersenyum dan balik bertanya, “ luka, apakah kau yakin dirimu adalah luka? Cinta, apakah kau yakin dirimu adalah cinta?”. Luka dan cinta saling berpandangan. Hampir serempak mereka berkata “maksudmu???”

Terkadang sesuatu yang tampak sebagai luka pada hakikatnya adalah cinta. Sedangkan sesuatu yang tampak sebagai cinta terkadang pada hakikatnya adalah luka.”
Luka dan cinta kembali saling pandang. Mereka tak mengerti.

“Tapi aq selalu membuat orang bahagia” ujar cinta tiba-tiba…

“Apakah kau yakin Allah juga bahagia? Atau orang lain juga bahagia dengan kebahagiaan itu?”

“aq juga sering membuat orang sengsara” luka angkat suara…

“Apakah kau yakin Allah juga pasti murka? Atau orang lain membencinya?”

“wahai pohon kurma, apa maksudmu sebenarnya? Kami tak mengerti…”

“sesungguhnya antara luka dan cinta tak ada bedanya. Tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Ada orang yang bisa bertahan dengan cinta dan luka sekaligus. Ada yang hanya hidup dengan cinta. Ada yang hanya hidup dengan luka. Seperti aq ini, menurut kalian daerah ini luka, tapi bagiku cinta.”

Luka dan cinta masih geleng-geleng kepala.

“sudahlah…setelah ini, kalian berkaca dan tataplah lekat diri kalian. Kemudian bertanya apakah aq ini luka atau cinta?”. Luka dan cinta pergi meninggalkan pohon kurma dengan seribu tanda Tanya……


By: Rafif Amir (Muhasabah Cinta) ^^

INDIKATOR PELAYANAN RUMAH SAKIT




1.      BOR (Bed Occupancy Ratio = Angka penggunaan tempat tidur)
Indikator ini memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. Nilai parameter BOR yang ideal adalah antara 60-85% (Depkes RI, 2005).
Rumus :

BOR =           Jumlah Hari Perawatan Rumah Sakit  X 100%
               (Jumlah tempat tidur X Jumlah hari dalam satu periode)
 
2.      AVLOS (Average Length of Stay = Rata-rata lamanya pasien dirawat)
AVLOS menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. Secara umum nilai AVLOS yang ideal antara 6-9 hari (Depkes, 2005).
Rumus :
AVLOS =             Jumlah lama dirawat  
                  Jumlah pasien keluar (hidup + mati)
 
3.      TOI (Turn Over Interval = Tenggang perputaran)
TOI menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata hari dimana tempat tidur tidak ditempati dari telah diisi ke saat terisi berikutnya. Indikator ini memberikan gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur. Idealnya tempat tidur kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari.
Rumus :
TOI = ((Jumlah tempat tidur X Periode) – Hari perawatan)
                      Jumlah pasien keluar (hidup + mati)
 
4.      BTO (Bed Turn Over = Angka perputaran tempat tidur)
BTO menurut Huffman (1994) adalah “...the net effect of changed in occupancy rate and length of stay”. BTO menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu. Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali.
Rumus :
BTO = Jumlah pasien keluar (hidup + mati)
                         Jumlah tempat tidur
 
5.      NDR (Net Death Rate)
NDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar. Indikator ini memberikan gambaran mutu pelayanan di rumah sakit.
Rumus :
NDR =       Jumlah pasien mati > 48 jam           X 1000 ‰
              Jumlah pasien keluar (hidup + mati)
 
 

Minggu, 27 Januari 2013

Istana dan Sepotong Singkong

Khairul Asri
Khairul Asri

Oleh: Khairul Asri*

KETIKA saya mengomentari dua orang yang sedang berdebat masalah pemimpin, saya katakan ”seorang pemimpin harus seperti Rasulullah SAW”. Salah satu dari mereka mengatakan jangan menyamakan pemimpin kita ini dengan Rasulullah SAW, beliau seorang Nabi. Saya terkejut dengan tanggapan yang demikian, dalam hati saya, kita memang tidak bisa dan tak seorangpun yang akan bisa seperti Rasulullah SAW, tapi  tentu kita bisa melakukan seperti yang beliau lakukan, walaupun tidak sesempurna yang Rasulullah lakukan.

Coba kita membuka kembali Sirrah Rasulullah, para sahabat dan pemimpin-pemimpin islam terdahulu. seharusnya kita mengidolakan mereka dan menjadikan mereka contoh dalam keseharian kita, jangan sampai kita melupakan sejarah. Jika kita sekarang telah sedikit lupa dengan sejarah Rasulullah, bagaimana 3 atau 4 tahun kedepan, tentu generasi kita bisa menjadi korban penipuan dalam sejarah. Setiap kita tentu punya idola, jangan sampai kita salah dalam mengidolakan sesuatu.

Kalau kita memperhatikan dalam Sirrah Rasulullah ”Sebagai Seorang Pemimpin”, bagaimana beliau mencontohkan sikap seorang pemimpin yang tidak merasa lebih tinggi dari orang-orang  yang  dipimpin, bagaimana seorang pemimpin yang tidak memiliki makanan kecuali hanya sebutir kurma, apakah karena beliau miskin? Jika Rasululllah mau tentu Allah akan mengabulkan semua permintaan beliau, tapi  Rasulullah lebih memilih hidup seperti orang yang dipimpinnya. Seorang penulis, di dalam buku “100 pemimpin yang sangat berpengaruh” beliau menulis Rasullullah berada di peringkat pertama.

Ingatkah kita kisah seorang pemimpin yang memikul sendiri sekarung gandum di pundaknya karena melihat rakyatnya memasak batu karena anaknya merasa lapar, beliau adalah Umar bin Abdul Aziz, suatu ketika beliau mengutus pengawalnya berpatroli, pengawalnya melaporkan ada sebuah gubuk seorang perempuan dengan seorang anaknya, yang sedang menangis karena lapar, sang ibu memasak beberapa butir batu untuk melalaikan anaknya, sambil meangis sang ibu mengaduk-aduk batu dalam kuali sampai anaknya tertidur.
Mendengar berita yang demikian sang pemimpin tersebut memerintahkan pengawalnya mengambil sekarung gandum, dan beliau memikul sendiri, sampai di gubuk tersebut beliau menanyakan kepada sang ibu, mengapa bisa terjadi demikian, sang ibu menjawab, pemimpin kami lupa kepada kami, sambil menangis beliau memberikan sekarung gandum tersebut, sambil mengatakan sayalah pemimpin itu.

Kisah diatas hanya sebagian kecil dari kisah para pemimpin yang memperhatikan kesejahteraan orang yang dipimpinnya. Kalau kita memperhatikan di zaman yang kita hadapi sekarang, tentu berbalik 90 derajat, dimana sang pemimpin tidak lagi menghidupkan rakyat justru mencari hidup dari rakyat, mereka memperkaya diri sedangkan orang-orang yang di pimpin mereka masih banyak yang merasakan kelaparan, sampai mati dalam keadaan lapar, sakit yang tidak kunjung sembuh, karena mereka berpikir untuk mendapatkan sesuap nasi saja susah apalagi harus ke dokter dan biaya pengobatan.

Masihkah kita mengingat berita seorang nenek yang mencuri singkong karena cucunya lapar, sehingga beliau dimeja hijaukan dan di tuntut denda Rp1 juta atau di penjara selama 2,5 tahun, begitu mahalnyakah harga singkong sekarang, apa yang kita rasakan ketika mendengar berita demikian? Justru ditingkat atas banyak yang bermain dengan milyaran dan bahkan trilyunan, mereka santai-santai saja, karena mereka beranggapan dimana ada uang disitu tidak ada masalah. Berapa banyak para petinggi terlibat korupsi. Ada juga yang sudah terbukti masih saja mengatakan, saya tidak akan melepaskan jabatan dengan alasan saya mau menjalankan tugas, sungguh, suatu kebohongan.

Sebagian besar kejahatan tentu disebabkan masasalah perut, jika kesejahteraan rakyat terjamin, maka kisah sang nenek tidak akan terjadi, jika pemimpin memakai hati dan pikiran mereka, bagaimana jika saya berada diposisi nenek tersebut. Semua kita mendambakan seorang pemimpin yang adil, bijaksana, jujur, dan merakyat, mari kita memperhatikan siapa yang akan menjadi pemimpin kita, jangan karena dimasa kampanye kita diberikan sesuatu, kita menjadi lupa akan beberapa tahun ke depan, ketika dia memimpin.

Perhatikan di sekitar kita yang menjadi wakil kita di pemerintahan, apakah mereka mendengarkan inspirasi dan suara kita. Jangan hanya memanfaatkan kita untuk mendapatkan kesenangan mereka, yang menjadi pemimpin janganlah merasa tinggi, tidakkah kita melihat setinggi-tinggi pohon bambu pasti ujungnya melengkung kebawah, janganlah seorang pemimpin merasa gengsi untuk bergaul dengan dengan seorang petani, tukang becak, tukang sampah dan yang lainya hanya karena mereka tidak memakai jas atau dasi.

Sebelum kita menginjak kursi kepemimpinan, hendaknya kita mengetahui atau memahami benar fungsi, dan kewajiban-kewajiban seorang pemimpin, setidaknya kita memiliki pondasi yang benar-benar kuat, jika kita mempunyai pondasi yang kuat itu tentu tidak tidak akan terombang-ambing mengikuti arah angin. Pondasi itu adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Bukankah ketika pemimpin dilantik mereka disumpah dengan Al-Quran, karena kita mengharapkan supaya mereka benar-benar menjalankan fungsinya.

Ataupun jika seorang pemimpin tidak mempunyai pondasi, hendaknya mereka berkomunikasi dengan para ahlinya, dalam hal ini ulama sangat berperan penting, karena agama tidak bisa dipisahkan dengan pemerintahan, karena dalam agama semua solusinya ada. Coba kita memperhatikan sebelum revolisi terjadi di Mesir, seorang ulama besar pernah berpesan dalam pesan singkatnya beliau mengatakan kepada sang Presiden ”mungkin ini pertemuan kita yang terakhir, jika engkau berada dalam ketentuan kami (ulama), engkau akan mendapat taufiq dari Allah, jika kami (ulama) berada dalam ketentuanmu, maka kehancuran akan terjadi”.

Beberapa hari kemudian beliaupun di panggil Allah, dan beberapa hari setelah beliau wafat terjadilah revolusi di negara yang selama 30 tahun dipimpin Presiden tersebut.

Sebelum kita salah memilih dan menyesal kemudian, marilah kita kembali melihat siapa yang pantas dan bertanggung jawab menjadi pemimpin kita, karena baldatun tayyibatun wa rabburgafur adalah impian kita semua.(ariga.singkite[at]yahoo.com)


*Mahasiswa Universitas Al Azhar, Kairo asal Aceh Tengah