Kamis, 26 April 2012

Autisme


1.      Definisi
Autisme berasal dari kata auto yang berarti berdiri sendiri, karena penyandang autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan tahun 1943 oleh Leo Kramer sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau (Handojo, 2008)
Autisme adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada anak yang mengalami kondisi menutup diri. Gangguan ini mengakibatkan anak mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku “Sumber dari Pedoman Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Autisme” (American Psychiatic Association, 2000).
Autisme merupakan keadaan yang sangat mengganggu perkembangan anak. Gangguan kemampuan berinteraksi dengan orang lain dan teman sebayanya, gangguan berkomunikasi dan berbahasa, serta berbagai perilaku yang tidak sesuai dengan umur perkembangan anak tentunya akan sangat menghambat proses tumbuh kembang anak. Autisme adalah kelainan perkembangan anak yang masuk dalam kelompok pervasive Developmental Disorder (PDD). PDD merupakan kelompok kelainan perkembangan pada anak yang sifatnya luas dan kompleks, mencakup aspek interaksi sosial, kognisi, bahasa dan motorik (Pusponegoro, 2007).
Perilaku autisme digolongkan dalam 2 jenis, yaitu:
1.      Perilaku eksesif (berlebihan)
Yang termasuk perilaku eksesif adalah hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menyepak, menggigit, mencakar, memukul, dsb. Disini juga sering terjadi anak menyakiti diri sendiri (self abuse).
2.      Perilaku defisit (berkekurangan)
Perilaku defisit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai (naik kepangkuan ibu bukan untuk kasih sayang tapi untuk meraih kue), defisit sensoris sehingga dikira tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat, misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun.
2.      Penyebab Autisme
Berbagai penelitian terus dilakukan untuk mencari penyebab autisme, mengingat jumlah anak yang menderita autisme ini terus bertambah. Sekitar 20 tahun yang lalu, penyebab autisme masih merupakan misteri. Sekarang, berkat alat kedokteran yang semakin canggih, diperkuat dengan autopsi, ditemukan penyebabnya antara lain gangguan neurobiologis pada susunan saraf pusat (otak).
Biasanya gangguan ini terjadi dalam tiga bulan pertama masa kehamilan, bila pertumbuhan sel-sel otak di beberapa tempat tidak sempurna. Penyebabnya bisa karena virus (toxoplasmosis, cytomegalo, rubella dan herpes) atau jamur (candida) yang ditularkan oleh ibu ke janin. Bisa juga karena semasa hamil sang ibu mengkonsumsi atau menghirup zat yang sangat polutif, yang meracuni janin. Kekurangan jumlah sel otak ini tidak mungkin diperbaiki dengan cara apapun. Namun ternyata setiap penyandang mempunyai cara berbeda untuk mengatasi kekurangan tersebut. Sebaliknya, ada makanan tertentu yang mempunyai pengaruh memperberat gejala. Ada pula penderita yang menderita gangguan pencernaan, metabolisme, serta imunodefisiensi dan alergi (Veskarisyanti, 2008).
Penyebab autisme menurut Elvi (2008) adalah sebagai berikut:
1.      Faktor Psikogenik
Ketika autisme pertamakali ditemukan tahun 1943 oleh Leo Kanner, autisme diperkirakan disebabkan pola asuh yang salah. Kasus-kasus perdana banyak ditemukan pada keluarga kelas menengah dan berpendidikan, yang orangtuanya bersikap dingin dan kaku pada anak. Kanner beranggapan sikap keluarga tersebut kurang memberikan stimulasi bagi perkembangan komunikasi anak yang akhirnya menghambat perkembangan kemampuan komunikasi dan interaksi sosial anak.
Pendapat Kanner ini disebut dengan teori Psikogenik yang menerangkan penyebab autisme dari faktor-faktor psikologis, dalam hal ini perlakuan / pola asuh orangtua. Namun penelitian-penelitian selanjutnya tidak menyepakati pendapat Kanner. Alasannya, teori psikogenik tidak mampu menjelaskan ketertinggalan perkembangan kognitif, tingkah laku maupun komunikasi anak autisme. Penelitian-penelitian selanjutnya lebih memfokuskan kaitan faktor-faktor organik dan lingkungan sebagai penyebab autisme. Kalau semula penyebabnya lebih pada faktor psikologis, maka saat ini bergeser ke faktor organik dan lingkungan.
2.      Faktor biologis dan lingkungan
Seperti gangguan perkembangan lainnya, autisme dipandang sebagai gangguan yang memiliki banyak sebab dan antara satu kasus dengan kasus lainnya penyebabnya bisa tidak sama. Penelitian tentang faktor organik menunjukkan adanya kelainan/keterlambatan dalam tahap perkembangan anak sehingga autisme kemudian digolongan sebagai gangguan dalam perkembangan (developmental disorder) yang mendasari pengklasifikasian dan diagnosis dalam DSM IV.
Hasil pemeriksaan laboratorium, juga MRI dan EEG tidak memberikan gambaran yang khas tentang penyandang autisme, kecuali pada penyandang autisme yang disertai dengan gangguan kejang. Temuan ini kemudian mengarahkan dugaan neurologis terjadi pada abnormalitas fungsi kerja otak, dalam hal ini neurotransmitter yang berbeda dari orang normal.
Neurotransmitter merupakan cairan kimiawi yang berfungsi menghantarkan impuls dan menerjemahkan respon yang diterima. Jumlah neurotransmitter pada penyandang autisme berbeda dari orang normal dimana sekitar 30-50% pada penderita autisme terjadi peningkatan jumlah serotonin dalam darah (Nikita,2002). Selanjutnya, penelitian kemudian mengarahkan perhatian pada faktor biologis, diantaranya kondisi lingkungan, kehamilan ibu, perkembangan perinatal, komplikasi persalinan, dan genetik.
Kondisi lingkungan seperti kehadiran virus dan zat-zat kimia/ logam dapat mengakibatkan munculnya autisme (autism society org, 2002). Zat-zat beracun seperti timah (Pb) dari asap knalpot mobil, pabrik dan cat tembok; kadmium (Cd) dari batu baterai serta turunan air raksa (Hg) yang digunakan sebagai bahan tambalan gigi (Amalgam).
Apabila tambalan gigi digunakan pada calon ibu, amalgam akan menguap didalam mulut dan dihirup oleh calon ibu dan disimpan dalam tulang. Ketika ibu hamil, terbentuklah tulang anak yang berasal dari tulang ibu yang sudah mengandung logam berat. Selanjutnya proses keracunan logam beratpun terjadi pada saat pemberian Asi dimana logam yang disimpan ibu ikut dihisap bayi saat menyusui. Sebuah vaksin, MMR (Measles, Mumps & Rubella) awalnya juga diperkirakan menjadi penyebab autisme pada anak akibat anak tidak kuat menerima campuran suntikan tiga vaksin sekaligus sehingga mereka mengalami kemunduran dan memperlihatkan gejala autisme.
Sampai saat ini diduga faktor genetik berpengaruh kuat atas munculnya kasus autisme. Dari penelitian pada saudara sekandung (siblings) anak penyandang autisme terungkap mereka mempunyai peningkatan kemungkinan sekitar 3% untuk dinyatakan autisme. Sementara penelitian pada anak kembar juga didapat hasil yang mendukung. Sayangnya harus diakui populasi anak kembar sendiri memang tidak banyak di masyarakat sehingga menggunakan sampel kecil . Penelitian pada kembar identik 1 telur menunjukkan bahwa mereka memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk diagnosis autisme bila saudara kembarnya autisme (Nikita, 2002).
Beberapa faktor lainnya yang juga telah diidentifikasi berasosiasi dengan autisme diantaranya adalah usia ibu (makin tinggi usia ibu, kemungkinan menyandang autisme kian besar), urutan kelahiran, pendarahan trisemester pertama dan kedua serta penggunaan obat yang tak terkontrol selama kehamilan (Elvi, 2008).
3.      Gejala Autisme
a.       Gangguan dalam bidang komunikasi verbal maupun non-verbal
1.      Terlambat bicara atau tidak dapat berkomunikasi
2.      Mengeluarkan kata-kata yang tidak dapat dimengerti orang lain yang sering di sebut sebagai “bahasa planet”.
3.      Tidak mengerti dan tidak mengeluarkan kata-kata dalam konteks yang sesuai (gangguan bahasa ekspresif dan reseptif)
4.      Bicara tidak digunakan untuk berkomunikasi
5.      Meniru atau membeo (ekolalia). Beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian, nada maupun kata-katanya, tanpa mengerti artinya.
6.      Kadang bicaranya monoton seperti robot
7.      Mimik datar
b.      Gangguan dalam bidang interaksi sosial
1.      Menolak atau menghindar untuk bertatap mata
2.      Tidak menoleh bila di panggil. Karena hal ini sering di duga bahwa anak mengalami ketulian
3.        Merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk
4.        Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain
5.      Bila ingin sesuatu, ia menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.
6.         Bila didekati untuk bermain justru menjauh
7.        Tidak berbagi kesenangan untuk orang lain
c.       Gangguan dalam bidang perilaku dan bermain
Umumnya mereka seperti tidak mengerti cara bermain. Bermain sangat monoton, stereotipik. Bila sudah senang dengan satu mainan tidak mau mainan yang lain dan cara bermainnya juga aneh. Yang paling sering adalah keterpakuan pada roda atau sesuatu yang berputar.
d.      Gangguan dalam bidang perasaan/emosi
1.      Tidak ada atau kurang rasa empati, misalnya melihat anak menangis ia tidak merasa kasihan tetapi justru merasa terganggu dan anak yang sedang menangis tersebut mungkin akan didatangi dan dipukulinya.
2.      Tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah-marah tanpa sebab yang nyata.
3.   Sering mengamuk tak terkendali (tempertantrum), terutama bila tidak mendapatkan yang diinginkannya, ia bahkan bisa menjadi agresif (menyerang) dan destruktif (merusak).
e.       Gangguan dalam persepsi sensoris
1.      Mencium-cium atau menjilati benda apa saja
2.      Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga
3.      Tidak menyukai rabaan atau pelukan. Bila digendong cenderung merosot untuk melepaskan diri.
4.      Merasa sangat tidak nyaman bila memakai pakaian dari bahan tertentu.
Autisme yang sering melanda anak-anak sudah tampak sebelum anak tersebut mencapai umur 3 tahun. Menurut Veskarisyanti (2008) perkembangan yang terganggu pada anak yang mengalami autisme adalah dalam bidang:
1.      Komunikasi
Munculnya kualitas komunikasi yang tidak normal, ditunjukkan dengan:
a.       Kemampuan wicara tidak berkembang atau mengalami keterlambatan.
b.      Pada anak tidak tampak usaha untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.
c.       Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan yang melibatkan komunikasi dua arah dengan baik
d.      Anak tidak imajinatif dalam hal permainan atau cenderung monoton
e.       Bahasa tidak lazim yang selalu diulang-ulang atau stereotipik
2.      Interaksi sosial
Timbulnya gangguan kualitas interaksi social yaitu:
  1. Anak mengalami kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan wajah yang tidak berekspresi.
  2. Ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama
  3. Ketidakmampuan anak untuk berempati, dan mencoba membaca emosi yang dimunculkan oleh orang lain.
3.      Perilaku
Aktivitas, perilaku, dan ketertarikan anak sangat terbatas. Banyak pengulangan terus-menerus dan stereotipik seperti:
a.       Adanya suatu kelekatan pada rutinitas dan ritual yang tidak berguna, misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu, sikat gigi, pakai piyama, menggosokkan kaki di keset, baru naik ke tempat tidur. Bila ada satu dari aktivitas diatas yang terlewat atau terbalik urutannya, maka ia akan sangat terganggu dan menangis bahkan berteriak-teriak minta diulang.
b.      Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola perilaku yang tidak normal, misalnya duduk di pojok sambil menghamburkan pasir seperti hujan, yang bisa dilakukan berjam-jam. Selain itu munculnya preokupasi dengan bagian benda / mainan tertentu yang tidak berguna, seperti roda sepeda yang diputar-putar, benda dengan bentuk dan rabaan tertentu yang terus diraba-rabanya, suara-suara tertentu.
c.       Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti menggoyang-goyang badan, geleng-geleng kepala.
4.      Gangguan sensoris
a.       Sangat sensitive terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
b.      Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
c.       Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
d.      Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.
5.      Pola bermain
a.       Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
b.      Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.
c.       Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda di balik lalu rodanya di putar-putar.
d.      Menyenangi benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda.
e.       Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa ke mana-mana.
6.      Emosi
a.       Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasan
b.      Tempertantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya
c.       Kadang suka menyerang dan merusak, berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri, serta tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.
Selain tanda-tanda diatas, anak yang mengalami autisme juga menunjukkan gejala gangguan sensori yaitu adanya kebutuhan untuk menggigit-gigit benda. Serta cenderung tidak suka dibelai dan dipeluk sekalipun itu oleh orang tua mereka. Gangguan ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki dari pada anak perempuan, dengan perbandingan 3 : 1 (Veskarisyanti, 2008)
4.      Kriteria Diagnostik Autisme
Menurut Pusponegoro (2007), diagnostik DSM IV kriteria gangguan autisme adalah sebagai berikut:
A.    Terdapat enam atau lebih gejala dari kriteria  (1),(2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari kriteria (1) dan masing-masing 1 gejala dari kriteria (2) dan (3) :
  1. Kelemahan kualitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalam sedikitnya 2 dari beberapa gejala berikut ini :
a)      Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah, sikap tubuh dan gerak terhadap rutinitas dalam interaksi sosial.
b)    Kegagalan dalam membentuk hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
c)      Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan orang lain.
d)     Kurang sosialisasi atau emosi yang labil
  1. Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala berikut ini:
a)      Perkembangan bahasa lisan (bicara) terlambat atau sama sekali tidak berkembang dan anak tidak mencari jalan untuk berkomunikasi secara non verbal.
b)      Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi
c)      Sering menggunakan bahasa yang aneh atau stereotype dan berulang-ulang.
d)     Kurang mampu bermain imajinatif (make believe play) atau permainan imitasi sosial lainnya sesuai dengan taraf perkembangannya.
  1. Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang. Minimal harus ada 1dari gejala berikut ini :
a)      Keasyikan yang meliputi satu atau lebih stereotip atau kelainan dalam intensitas maupun fokus ketertarikan akan sesuatu yang terbatas.
b)      Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas.
c)      Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti menggerak-gerakkan tangan, bertepuk tangan,menggerakkan tubuh.
d)     Sikap tertarik yang sangat kuat/ preokupasi dengan bagian-bagian tertentu dari obyek.
B.     Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun minimal pada salah satu bidang:
1)      Interaksi sosial,
2)      Kemampuan bahasa dan komunikasi,
3)      Cara bermain simbolik dan imajinatif.
C.     Gangguan ini tidak disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak
2. Terapi Autisme
1.      Pola penanganan terpadu
Penanganan terpadu harus secepat mungkin dilaksanakan bila diagnosis autisme sudah terbentuk. Meskipun kelalaian yang ada di otak tidak dapat disembuhkan, namun dengan pola penanganan terpadu dan intensif, gejala-gejala autisme dapat dikurangi bahkan dihilangkan, sehingga di harapkan bisa berbaur dan hidup mandiri dalam masyarakat normal (Maulana, 2007).
Keberhasilan terapi tergantung dari beberapa factor:
a.             Berat atau ringannya gejala. Hal ini tentu saja tergantung dari berat ringannya gangguan yang ada di dalam sel otak sendiri.
b.            Umur. Diagnosis ini sangatlah penting, sebab semakin muda umur anak pada saat terapi dimulai, semakin besar kemungkinan untuk berhasil. Dikatakan bahwa umur yang ideal adalah antara umur 2-5 tahun, dimana sel otak masih bisa dirangsang untuk membentuk cabang-cabang neuron baru.
c.             Kecerdasan. Makin cerdas anak tersebut makin cepat dia bisa mengungkapkan hal-hal yang diajarkan kepadanya.
d.            Bicara dan berbahasa. Tidak semua penyandang autisme berhasil mengembangkan fungsi bicara dan berbahasanya. 20% dari penyandang autisme tidak mampu berbicara seumur hidup, sedangkan sisanya ada yang bisa berbicara namun sulit dan kaku. Namun, ada pula yang bisa berbicara dengan lancar. Mereka yang fungsi bicara dan berbahasanya baik, tentu saja lebih mampu diajar berkomunikasi.
e.             Intensitas dan terapi. Penanganan pada penyandang autisme harus dilakukan dengan sangat intensif. Beberapa pakar mengatakan bahwa terapi secara formal sebaiknya dilakukan antara 4-8 jam sehari. Namun, disamping itu, seluruh keluarga pun harus ikut terlibat melakukan komunikasi dengan anak sejak anak tersebut bangun pagi hingga siap tidur pada malam hari (Maulana, 2007).
Terapi perlu diberikan untuk membangun kondisi yang lebih baik. Terapi juga harus rutin dilakukan agar apa yang menjadi kekurangan anak dapat terpenuhi secara bertahap. Bagi orang tua anak dengan kelainan ini disarankan oleh para ahli untuk menggunakan metode ABA dengan rutin dan disiplin tinggi.
Perlu diingat bahwa terapi harus diberikan sedini mungkin sebelum anak berusia 5 tahun. Sebab, perkembangan pesat otak anak umumnya terjadi pada usia sebelum 5 tahun, tepatnya puncak pada usia 2-3 tahun (Veskarisyanti, 2008).
Jenis terapi yang bisa dilakukan pada anak autisme menurut Handojo (2008) adalah sebagai berikut:
a.       Terapi perilaku
1)      Terapi okupasi
Sebagian penyandang kelainan perilaku, terutama autisme, juga mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik. Gerak-geriknya kasar dan kurang luwes bila dibanding dengan anak-anak seumurnya. Pada anak-anak ini perlu diberi bantuan terapi okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan keterampilan ototnya. Otot jari tangan misalnya sangat penting dikuatkan dan dilatih supaya anak bisa menulis dan melakukan semua hal yang membutuhkan keterampilan otot jari tangannya, seperti menunjuk, bersalaman, memegang raket, memetik gitar, main piano, dan sebagainya.
Para terapis okupasi juga sering kali memakai Sensory Integration (SI) untuk menterapi kelainan sensoris pada anak autisme. Namun dari banyak penelitian yang telah dilakukan, dibuktikan bahwa SI saja tidak dapat meningkatkan perilaku anak, bahkan sering mengakibatkan kemunduran perilaku, dan tidak berhasil menghilangkan ataupun mengurangi perilaku-perilaku aneh dari anak (Handojo, 2008).
2)      Terapi wicara
Bagi anak dengan speech delay, maka terapi wicara merupakan pilihan utama. Untuk memperoleh hasil yang optimal, materi speech therapy sebaiknya dilaksanakan dengan metoda ABA (Applied Behaviour Analysis).
Bagi penyandang autisme oleh karena semua penyandang autisme mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa, speech therapy adalah juga suatu keharusan, tetapi pelaksanaannya harus dengan metoda ABA. Menerapkan terapi wicara pada penyandang autisme berbeda dengan pada anak lain. Terapis harus berbekal diri dengan pengetahuan yang cukup mendalam tentang gejala dan gangguan bicara yang khas bagi penyandang autisme. Mereka juga harus memahami langkah-langkah metode lovaas sebagai kunci masuk bagi materi yang akan diajarkan.
Banyak speech therapist yang mencoba menterapi anak, terutama yang autisme, tanpa metoda ABA. Mereka seringkali mengalami kegagalan dan frustasi. Jadi sekalipun mencoba terapi wicara pada anak autisme, penting sekali menggabungkannya dengan metoda Lovaas, agar hasilnya terlihat nyata (Handojo, 2008).
3)      Sosialisasi dengan menghilangkan perilaku yang tidak wajar
Untuk menghilangkan perilaku yang tidak dapat diterima oleh umum, perlu dimulai dari kepatuhan dan kontak mata. Kemudian diberikan pengenalan konsep atau kognitif melaui bahasa reseptif dan ekspresif. Setelah itu barulah anak dapat diajarkan hal-hal yang bersangkutan dengan tatakrama, dan sebagainya.
Agar seluruh perilaku sosial dapat ditekan, maka penting sekali diperhatikan bahwa anak jangan dibiarkan sendirian, tetapi harus  selalu ditemani secara interaktif, baik yang bersangkutan dengan akademik, bina diri, keterampilan motorik, sosialisasi, dan sebagainya. Dan jangan lupa, sediakanlah dan berikanlah imbalan yang efektif (Handojo, 2008).
b.      Terapi biomedik
Obat-obatan juga dipakai terutama untuk penyandang autisme, tetapi sifatnya sangat individual dan perlu berhati-hati. Dosis dan jenisnya sebaiknya diserahkan kepada dokter spesialis yang memahami dan mempelajari autisme (biasanya Dokter Spesialis Jiwa Anak). Baik obat maupun vitamin hendaknya diberikan secara sangat berhati-hati, karena baik obat maupun vitamin dapat memberikan efek yang tidak dikehendaki. Vitamin banyak dicampurkan pada nutrisi khusus, karena itu telitilah lebih dahulu sebelum membeli dan memberikannya kepada penyandang autisme.
Jenis obat, food supplement dan vitamin yang sering dipakai saat ini untuk anak autisme adalah risperidone (Risperdal), Ritalin, haloperidol, pyridoksin (vit B6), DMG (vit B15), TMG, magnesium, Omega-3 dan Omega-6, dsb. Obat efek samping perlu diberikan apabila obat-obatan tersebut membawa efek samping yang menonjol. Sebaiknya tiap obat dan vitamin yang diberikan kepada penyandang autisme dengan tujuan efek yang sudah diketahui. Jangan sekali-sekali memberikan obat / vitamin secara ikut-ikutan karena anak lain mendapat manfaat yang baik, oleh karena dosis maupun khasiat obat terhadap anak autisme sangat individual. Efek serta efek sampingnya perlu secara cermat diamati, sehingga diperoleh manfaat yang optimal (Handojo, 2008).
c.       Sosialisasi ke sekolah regular
Anak dengan kelainan perilaku, terutama penyandang autisme yang telah mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik dapat dicoba untuk memasuki sekolah normal sesuai dengan umurnya. Namun perlu diingat bahwa terapi perilakunya jangan ditinggalkan, karena sangat besar kemungkinan terjadi regresi yaitu perkembangan perilaku anak yang mundur kembali. Sebaiknya keikutsertaan di sekolah normal tetap dibarengi dengan penanganan perilaku yang tetap terus dikembangkan dan dipelihara. Perlu diingat pula bahwa bagi anak dengan autisme yang masuk sekolah normal harus dibayangi terus (oleh shadower atau helper). Bila terjadi kesulitan komunikasi, anak dapat segera di prompt atau di jembatani dengan instruksi yang dimengerti anak.
Di lingkungan sekolah normal, anak-anak ini dapat dilatih untuk kemampuan komunikasi dan sosialisasi dengan anak-anak sebayanya. Sedangkan materi akademiknya bila terjadi kesulitan, tetap dapat diajarkan secara one-on-one (Handojo, 2008) 
d.      Sekolah (Pendidikan) Khusus
Pada sekolah (pendidikan) khusus ini dikemas khusus untuk penderita autis yang meliputi terapi perilaku, wicara dan okupasi, bila perlu dapat ditambahkan dengan terapi obat-obatan, vitamin dan nutrisi yang memadai.
Pendidikan anak dengan kebutuhan khusus tidak dapat disamakan dengan pendidikan normal, karena kelainannya sangat bervariatif dan usia mereka juga berbeda. Program pendidikan untuk anak autisme sangat terstruktur, menitikberatkan kepada kemampuan berkomunikasi dan sosialisasi serta teknik pengelolaan perilaku positif. Strategi yang digunakan di dalam kelas sebaiknya juga diterapkan di rumah sehingga anak memiliki lingkungan fisik dan sosial yang tidak terlalu berbeda.
Dukungan pendidikan seperti terapi wicara, terapi okupasional dan terapi fisik merupakan bagian dari pendidikan di sekolah anak autisme. Keterampilan lainnya, seperti memasak, berbelanja atau menyeberang jalan, akan dimasukkan ke dalam rencana pendidikan individual untuk meningkatkan kemandirian anak. Tujuan keseluruhan untuk anak adalah membangun kemampuan sosial dan berkomunikasi sampai ke tingkat tertinggi atau membangun potensinya yang tertinggi (Handojo, 2008).
2.      Metode ABA atau LOVAAS
Metode ABA (Applied Behaviour Analysis) adalah metode tatalaksana perilaku yang telah berkembang sejak puluhan tahun yang lalu. Prof. DR. Ivar Lovaas dari university of California, Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat,  menggunakan metode ini secara intensif pada anak autisme. Melihat keberhasilannya, maka Lovaas mulai mempromosikan metoda ini dan merekomendasikan untuk penanganaan anak autisme, sehingga metode ini lebih dikenal sebagai metoda Lovaas.
Sebelum menerapkan metoda ini pada anak, perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
A.    Tujuan Terapi
            Tujuan terapi perlu ditetapkan dan diingat, baik bagi orangtua yang mengorganisir tim terapis, maupun oleh para terapis sendiri. Hal ini penting, oleh karena rutinitas dengan berbagai masalahnya seringkali mengakibatkan penyimpangan terhadap tujuan yang di ingin dicapai. Hasil yang ingin dicapai dari pelaksanaan terapi ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan akan aturan pada anak autisme (Pusponegoro, 2007). Menurut Handojo (2008) tujuan terapi ini adalah:
1.      Komunikasi dua arah yang aktif.
      Banyak orangtua anak yang telah merasa puas dengan komunikasi 2 arah yang pasif. Anak mau menjawab saat ditanya. Hal ini belum cukup, karena dalam kehidupan normal seorang anak dan individu dewasa mampu berinisiatif memulai percakapan. Mereka juga mampu untuk bertanya bila ada hal-hal yang ingin diketahuinya. Tujuan ini harus selalu diingat, sehingga kecakapan anak dapat terus ditingkatkan sampai seperti atau mendekati kemampuan orang yang normal.
2.      Sosialisasi ke dalam lingkungan yang umum, dan tidak hanya mampu dalam lingkungan keluarga. Setelah anak mampu berkomunikasi, lakukan hal – hal yang menambah generalisasi. Generalisasi menyangkut subyek atau orang lain, instruksi, obyek, respon anak lingkungan yang berbeda–beda. Dengan memperkaya generalisasi ini, maka anak akan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
3.      Menghilangkan atau menimimalkan perilaku yang tidak wajar. Perilaku yang aneh perlu segera dihilangkan sebelum usia 5 tahun, agar tidak mengganggu kehidupan sosial anak setelah dewasa. Banyak orangtua yang lebih memprioritaskan pada hal-hal yang akademik, tetapi lalai dalam menangani perilaku yang tidak wajar ini. Pada usia yang balita, tampaknya perilaku aneh yang ringan-ringan masih dianggap wajar dan tidak terlalu menarik perhatian, misalnya mencium makanan sebelum dimakan, memainkan tangan seperti melambai, dsb. Tetapi bila perilaku ini menetap terus sampai usia yang lebih tua, bahkan tidak mustahil menetap sampai dewasa, maka pasti perilaku ini akan menarik perhatian orang lain.
4.      Mengajarkan materi akademik.
      Tidak perlu terburu-buru dan jangan dijadikan prioritas tertinggi. Kemampuan akademik sangat bergantung pada intelegensia atau IQ anak. Apabila IQ anak memang tidak termasuk di bawah normal, maka kemampuan akademiknya juga pasti tidak sulit untuk dikembangkan. Kemampuan akademik masih tetap bisa mulai di ajarkan pada usia yang lebih tua. Memang tidak ada salahnya (bahkan memang seharusnya) mengajar kemampuan akademik pada anak, tapi prioritas utama tetap pada kemampuan komunikasi dan sosialisasi.
5.      Kemampuan bantu diri atau bina diri dan keterampilan lain.
      Ini adalah kemampuan yang juga diperlukan bagi setiap individu, agar dalam hal yang bersifat privacy, mampu dikerjakan sendiri tanpa dibantu orang lain. Makan, minum, memasang dan melepas pakaian dan kaos kaki, toileting, gosok gigi, dsb. Dapat diajarkan secara terus menerus sampai anak benar-benar menguasainya. Disamping itu pada anak yang lebih besar dapat diajarkan keterampilan lain seperti berenang, melukis, memasak, olahraga, dsb. Keterampilan ini akan sangat bermanfaat, selain sebagai latihan motorik, juga untuk memupuk bakat anak, dan dapat mengisi seluruh waktu anak.
B.     Teori Lovaas
Tekhnik lovaas yang berdasarkan pada “behaviour modification” atau “Discrete trial training” menggunakan urutan : A-B-C. (A atau Antecedent = pra-kejadian) adalah pemberian instruksi, misalnya pertanyaan, perintah, atau visual. Berikan waktu 3-5 detik untuk si anak memberi respon. Dalam memberikan instruksi, perhatikan bahwa si anak ada dalam keadaan siap (duduk, diam, tangan ke bawah). Suara dimana instruksi tidak diulang. Untuk permulaan, gunakanlah satu kata perintah.
B atau behavoiur (perilaku) adalah respon anak. Respon yang diharapkan haruslah jelas dan anak harus memberi respon dalam 3 detik, agar dapat meningkatkan perhatian anak.
C atau consequence (konsekuensi atau akibat). Konsekuensi haruslah seketika, berupa reinforcer (pendorong atau penguat) atau “tidak”.
Contohnya:
1)      Untuk respon yang BENAR; A- bila instruksi diberikan, yaitu “tepuk tangan”; B- anak menepuk tangannya; C- terapis berkata “BAGUS” sebagai imbalan positif.
2)      Untuk respon yang SALAH; A- bila instruksi diberikan, yaitu: “tepuk tangan”; B- anak melambaikan tangannya; maka C- terapis berkata “TIDAK”.
3)      Tidak ada respon; A- bila instruksi diberikan, yaitu: “tepuk tangan”; B- anak tidak mengerjakan apa-apa; maka C- terapis akan mengatakan “LIHAT” atau “DENGAR” (prompt atau bantuan).
a.       Reinforcers
Reinforcers adalah konsekuensi yang diberikan setelah perilaku, dimana reinforcers ini akan memungkinkan perilaku itu untuk terulang dalam kondisi yang sama. Reinforcers positif akan berbentuk: pujian, pelukan, elusan, ataupun kelitikan yang menyenangkan. Makanan dan minuman dapat dijadikan reinforcers, maupun aktivitas yang menyenangkan seperti menyanyi dan menempelkan gambar-gambar.
Reinforcers dapat berbentuk apa saja asalkan itu adalah sesuatu yang disenangi oleh anak dan anak akan berperilaku lebih baik untuk mendapatkannya. Bila  kita mengajarkan perilaku yang baru, imbalan sebaiknya diberikan setiap kali si anak mengerjakan yang diperintahkan kepadanya, walaupun kita memberikan bantuan atau prompt, untuk memberikan hasil yang baik.
Selanjutnya imbalan dapat dikurangi sedikit demi sedikit dan dihilangkan sama sekali bila perilaku yang diinginkan sudah terbentuk.
b.      Prompt
Prompt adalah bantuan atau apa saja yang bersifat membantu agar anak dapat menjawab dengan benar. Setelah anak menjawab atau memberikan respon yang benar, lalu diberikan reinforcers yang positif. Prompt diberikan saat anak tidak bisa mengerjakan atau memberi respon.
Prompt yang biasa diberikan:
1)      Fisik – Secara fisik anak di bantu untuk merespon dengan benar.
2)      Model – Anak diberi contoh agar dapat meniru dengan benar.
3)      Verbal – Mengucapkan kata yang benar untuk ditiru, atau menjelaskan apa yang harus dikerjakan oleh anak, atau menanyakan misalnya, “apa lagi?”
4)      Gestural – Secara isyarat, dengan menunjuk, melirik, ataupun menggerakkan kepala.
5)      Posisional – Dengan meletakkan apa yang diminta lebih dekat dengan anak dari benda-benda lainnya yang kita minta untuk membedakan.
C.     Tekhnik Applied Behaviour Analysis
Beberapa hal dasar mengenai tekhnik-tekhnik ABA adalah:
1.      Kepatuhan (compliance) dan kontak mata adalah kunci masuk ke metode ABA. Tapi sebenarnya metode apapun yang dipakai, apabila anak mampu patuh dan mampu membuat kontak mata, maka semakin mudah mengajarkan sesuatu pada anak.
2.      One-on One adalah satu terapis untuk satu anak. Bila perlu dapat dipakai seorang co-terapis yang bertugas sebagai prompter (pemberi prompt).
3.      Siklus dari discrete trial training, yang dimulai dengan instruksi dan diakhiri dengan imbalan. Siklus penuh terdiri dari 3 kali instruksi, dengan pemberian tenggang waktu 3-5 detik pada instruksi ke-1 dan ke-2
      1 siklus :
§  Instruksi 1 = (tunggu 3-5 detik), bila respon tidak ada, lanjutkan dengan
§  Instruksi 2 = (tunggu 3-5 detik), bila respon tidak ada, lanjutkan dengan
§  Instruksi 3 = langsung lakukan prompt dan beri imbalan
4.      Fading adalah mengarahkan anak ke perilaku target dengan prompt penuh, dan makin lama prompt makin dikurangi secara bertahap sampai akhirnya anak mampu melakukan tanpa prompt.
5.      Shaping adalah mengajarkan sesuatu perilaku melalui tahap-tahap pembentukan yang semakin mendekati respon yang dituju yaitu perilaku target.
6.      Chaining ialah mengajarkan sesuatu perilaku yang komplek, yang dipecah menjadi aktivitas-aktivitas kecil yang disusun menjadi suatu rangkaian atau untaian secara berurutan.
7.      Discrimination training adalah tahap identifikasi item dimana disediakan item pembanding. Kedua item kemudian di acak di tempatnya, sampai anak benar-benar mampu membedakan mana item yang harus diidentifikasi sesuai instruksi.
8.      Mengajarkan konsep warna, bentuk, angka, huruf, dll.
3.      Pemilihan terapi dirumah
Terapi perilaku metode ABA atau lovaas sebenarnya bersifat “home base” terapi. Jadi pelaksanaan terapi dirumah anak sebenarnya merupakan pilihan terbaik. Tapi hal ini memerlukan beberapa persyaratan lain yaitu:
a.       Pengetahuan orangtua akan metode terapi
b.      Pengelolaan proses terapi menyangkut pengawasan dan pembinaan terapis
c.       Ruangan yang bebas distraksi, cukup sejuk dan cukup penerangan.
d.      Meja dan kursi anak. Dibutuhkan minimal 1 meja berukuran kecil dan 2-3 buah kursi kecil yang pas untuk usia dan postur anak
e.       Alat peraga dan peralatan latihan motorik dan sensoris yang sesuai dengan materi yang akan diberikan.
f.       Evaluasi proses secara periodik
g.      Dana yang cukup untuk membayar 2-3 orang terapis.
h.      Terapis yang handal dalam melakukan terapi perilaku.


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi., 2002. Prosedur Penelitian, Jakarta: Rhineka Cipta.
Danuatmaja, Bonny., 2004. Terapi Anak Autis dirumah, Jakarta: Puspa Swara.
Elvi., (2008). Autisme: Masa Kanak-kanak http://www.autismeUSU-masakanak.com. Fakultas Kedokteran USU. dibuka 10 November 2009
Faisal, Yatim., 2003. Autisme Suatu Gangguan Jiwa pada Anak-Anak, Jakarta: Pustaka Populer.
Handojo., 2008. Autisme: Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk Mengajar Anak Normal, Autis dan Perilaku Lain, Jakarta: BIP.
Maulana, Mirza., 2007. Anak Autis: Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak Cerdas dan Sehat, Jogjakarta: Kata HATI.
Pusponegoro, Hardiono D., 2007. Apakah Anak Kita Autis?, Bandung: Jhonson & Johnson Indonesia.
Safaria, Triantoro., 2005. Autisme: Pemahaman Baru Untuk Hidup Bermakna Bagi   
            Orang Tua, Jogjakarta: Graha Ilmu.
Setiadi, 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan, Jogjakarta: Graha Ilmu.
_____, 2008. Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga, Jogjakarta: Graha Ilmu.
Sudjana, 2002. Metode Statistika. Bandung: Tarsito
Umar lubis, Misbah., (2009). Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Autis http://www.autismeUSU.org.com skripsi universitas sumatera utara, 2009. dibuka 10 februari 2010
Veskarisyanti A. Galih., 2008. 12 Trapi Autis, Jogjakarta: Pustaka Anggrek
Wresti., (2004). Kunci Keberhasilan Penyembuhan Autisme http://KBI.Gemari.or.id.  dibuka 10 november 2009.
 

1 komentar: