BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kejang adalah pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari
sel syaraf cortex serebral yang ditandai dengan serangan yang tiba-tiba
(Marillyn, Doengoes. 1999). Kejang merupakan perubahan fungsi
otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang
abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan (Betz &
Sowden,2002). Kejang demam merupakan kejang yang cukup sering dijumpai pada
anak–anak yang berusia dibawah 5 tahun, gejala–gejala yang timbul dapat bermacam–macam
tergantung dibagian otak mana yang terpengaruh, tetapi kejang demam yang
terjadi pada anak adalah kejang umum .
Insidensi kejang demam
di berbagai negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa barat mencapai 2 – 4
% sedangkan di negara–negara Asia jumlah penderitanya lebih tinggi lagi.
Sekitar 20 % diantara jumlah penderita mengalami kejang kompleks yang harus
ditangani secara lebih teliti.
Faktor resiko utama
yang umum menimpa anak balita usia 3 bulan sampai 5 tahun ini adalah demam
tinggi. Bisa diakibatkan oleh infeksi ekstrakranial seperti ISPA, radang
telinga, campak, cacar air. Dalam keadaan demam, kenaikan suhu tubuh sebesar 1
0C pun bisa mengakibatkan kenaikan metabolisme basal yang mengakibatkan
peningkatan kebutuhan oksigen jaringan sebesar 10 – 15 % dan otak sebesar 20 %.
Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka anak akan kejang. Umumnya
kejang tidak akan menimbulkan dampak sisa jika kejang tersebut berlangsung
kurang dari 5 menit tetapi anak harus tetap mendapat penanganan agar tidak
terjadi kejang ulang yang biasanya lebih lama frekuensinya dari kejang pertama.
Timbulnya kejang pada anak akan menimbulkan berbagai masalah seperti resiko
cidera, resiko terjadinya aspirasi atau yang lebih fatal adalah lidah jatuh ke
belakang yang mengakibatkan obstruksi pada jalan nafas.
1.2. Tujuan
Untuk meningkatkan
pengetahuan perawat tentang asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan system
neurologis: kejang demam kompleks.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.Definisi
Kejang demam atau febrile
convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rectal diatas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada
anak terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun.
Kejang adalah pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari
sel syaraf cortex serebral yang ditandai dengan serangan yang tiba-tiba
(Marillyn, Doengoes. 1999). Kejang merupakan perubahan fungsi
otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang
abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan (Betz & Sowden,
2002).
Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu
gejala yaitu Kejang berlangsung lama ≥ 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi,
atau kejang umum didahului kejang parsial, kejang berulang 2 kali atau lebih
dlm 24 jam (ILAE, 1993)
Ada
2 jenis kejang demam :
- Kejang demam kompleks : kejang terjadi lebih dari 15 menit, bentuk kejang fokal (hanya sebagian tubuh yang mengalami kejang) atau kejang umum didahului kejang fokal, serta kejang berulang (lebih dari 1x dalam 24 jam)
- Kejang demam sederhana : kebalikan dari kejang demam kompleks, terjadi kurang dari 15 menit, bentuk kejang umum,diikuti oleh periode post-iktal singkat serta kejang tidak berulang
2.2. Etiologi
Etiologi
dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan tetapi umur
anak, tinggi dan suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Factor
hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang demam
mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam pada masa kecilnya.
Semua
jenis infeksi bersumber diluar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat
menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam
adalah infeksi saluran pernafasan atas terutama tonsillitis dan faringitis,
otitis media akut (cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes
kesaraf dikepala pada otak akan menyebabkan kejang demam), gastroenteris akut,
exantema subitum dan infeksi saluran kemih. Selain itu, imunisasi DPT
(pertusis) dan campak (morbili) juga dapat menyebabkan kejang demam.
2.4.Manifestasi Klinis
Terjadinya
kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang
tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat,
otitis media akut, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang
biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan
sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau akinetik. Umumnya
kejang berhenti sendiri. Namun anak akan terbangun dan sadar kembali setelah
beberapa detik atau menit tanpa adanya neurologik.
Gejala yang timbul saat anak
mengalami kejang demam antara lain : anak mengalami demam (terutama demam
tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba), kejang
tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit
(hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Kejang
dapat dimulai dengan terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak
dapat menangis atau merintih akibat kekuatan kontraksi otot.anak akan jatuh
apabila dalam keadaan berdiri.
Postur tonik (kontraksi dan kekakuan
otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi
dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2
menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat,
inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya) gangguan
pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.
Saat kejang
anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti:
1.
Anak
hilang kesadaran
2.
Tangan
dan kaki kaku atau tersentak-sentak
3.
Sulit
bernafas
4.
Busa
dimulut
5.
Wajah
dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
6.
Mata
berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat
2.5.
Komplikasi
Menurut
Lumbantobing ( 1995: 31) Dan Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1985:
849-850). Komplikasi kejang demam umumnya berlangsung lebih
dari 15 menit yaitu :
- Kerusakan otak
Terjadi
melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang aktif sewaktu kejang
melepaskan glutamat yang mengikat resptor MMDA ( M Metyl D Asparate ) yang
mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang merusak sel neuoran
secara irreversible.
- Retardasi mental
Dapat terjadi
karena deficit neurolgis pada demam neonatus.
2.6.
Pencegahan
Menurut
Ngastiyah ( 1997: 236-239) pencegahan difokuskan pada pencegahan kekambuhan
berulang dan penegahan segera saat kejang berlangsung.
1. Pencegahan
berulang
a. Mengobati
infeksi yang mendasari kejang
b. Penkes
tentang
1)
Tersedianya
obat penurun panas yang didapat atas resep dokter
2)
Tersedianya
obat pengukur suhu dan catatan penggunaan termometer, cara pengukuran suhu
tubuh anak, serta keterangan batas-batas suhu normal pada anak ( 36-37ºC)
3)
Anak diberi obat anti piretik bila orang tua
mengetahuinya pada saat mulai demam dan jangan menunggu sampai meningkat
4)
Memberitahukan pada petugas imunisasi bahwa
anaknya pernah mengalami kejang demam bila anak akan diimunisasi.
a.
Mencegah
cedera saat kejang berlangsung kegiatan ini meliputi :
a.
Baringkan
pasien pada tempat yang rata
b.
Kepala
dimiringkan unutk menghindari aspirasi cairan tubuh
c.
Pertahankan
lidah untuk tidak menutupi jalan napas
d. Lepaskan
pakaian yang ketat
e.
Jangan
melawan gerakan pasien guna menghindari cedera
2.7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Komite Medik RSUP Dr. sardjito ( 2000:193) dan LUmbantobing dan
Ismail (1989 :43), pemeriksaannya adalah :
1) EEG
Pemeriksaan EEG dibuat 10-14 hari setelah bebas panas
tidak menunjukan kelainan likuor. Gelombang EEG lambat didaerah belakang dan
unilateral menunjukan kejang demam kompleks.
2) Lumbal
Pungsi
Tes
ini untuk memperoleh cairan cerebrospinalis dan untuk mengetahui keadaan lintas
likuor. Tes ini dapaat mendeteksi penyebab kejang demam atau kejang karena infeksi
pada otak.
-
Pada
kejang demam tidak terdapat gambaran patologhis dan pemeriksaan lumbal pungsi
-
Pada
kejang oleh infeksi pada otak ditemukan
:
a)
Warna
cairan cerebrospinal : berwarna kuning, menunjukan pigmen kuning santokrom
b)
Jumlah
cairan dalam cerebrospinal menigkat lebih dari normal (normal bayi 40-60ml,
anak muda 60-100ml, anak lebih tua 80-120ml dan dewasa 130-150ml)
c)
Perubahan
biokimia : kadar Kalium menigkat ( normal dewasa 3.5-5.0 mEq/L, bayi
3.6-5.8mEq/L)
2.8.Diagnosa Banding
Adapun
diagnosis banding kejang pada anak adalah :
1. Gemetar
Gemetar
merupakan bentuk klinis kejang pada anak tetapi sering membingungkan terutama
bagi yang belum berpengalaman. Keadaan ini dapat terlihat pada anak normal
dalam keadaan lapar seperti hipoglikemia, hipokapnia dengan hiperiritabilitas
neuromuskular, bayi dengan ensepalopati hipoksik iskemi dan BBLR. Gemetar
adalah gerakan tremor cepat dengan irama dan amplitudo teratur dan sama,
kadang-kadang bentuk gerakannya menyerupai klonik .
2. Apnea
Pada
BBLR biasanya pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti napas 3-6 detik
dan sering diikuti hiper sekresi selama 10 – 15 detik. Berhentinya pernafasan
tidak disertai dengan perubahan denyut jantung, tekanan darah, suhu badan,
warna kulit. Bentuk pernafasan ini disebut pernafasan di batang otak. Serangan
apnea selama 10 – 15 detik terdapat pada hampir semua bagi prematur,
kadang-kadang pada bayi cukup bulan.
Serangan
apnea tiba-tiba yang disertai kesadaran menurun pada BBLR perlu di curigai
adanya perdarahan intrakranial dengan penekanan batang otak. Pada keadaan ini
USG perlu segera dilakukan. Serangan Apnea yang termasuk gejala kejang adalah
apabila disertai dengan bentuk serangan kejang yang lain dan tidak disertai
bradikardia.
3. Mioklonus Nokturnal Benigna
Gerakan
terkejut tiba-tiba anggota gerak dapat terjadi pada semua orang waktu tidur.
Biasanya timbul pada waktu permulaan tidur berupa pergerakan fleksi pada jari
persendian tangan dan siku yang berulang. Apabila serangan tersebut berlangsung
lama dapat dapat disalahartikan sebagai bentuk kejang klonik fokal atau
mioklonik. Mioklonik nokturnal benigna ini dapat dibedakan dengan kejang dan
gemetar karena timbulnya selalu waktu tidur tidak dapat di stimulasi dan
pemeriksaan EEG normal. Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan
2.9.
Penatalaksanaan
Pada umumnya kejang pada BBLR merupakan kegawatan, karena
kejang merupakan tanda adanya penyakit mengenai susunan saraf pusat, yang
memerlukan tindakan segera untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut.
Penatalaksanaan
Umum terdiri dari :
a. Mengawasi bayi dengan teliti dan
hati-hati
b. Memonitor pernafasan dan denyut
jantung
c. Usahakan suhu tetap stabil
d. Perlu dipasang infus untuk pemberian
glukosa dan obat lain
e. Pemeriksaan EEG, terutama pada
pemberian pridoksin intravena
Bila etiologi telah diketahui pengobatan
terhadap penyakit primer segera dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri
larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 – 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan
kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 – 80 ml/kg secara
intravena. Pemberian Ca – glukosa hendaknya disertai dengan monitoring jantung
karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai
kebutuhan. Bila secara intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 %
sebanyak 10 ml per oral setiap sebelum minum susu.
Bila kejang tidak hilang, harus
pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2
ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati
terjadi hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy infant
dapat muncul.
Pengobatan dengan antikonvulsan
dapat dimulai bila gangguan metabolik seperti hipoglikemia atau hipokalsemia
tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk bayi baru lahir adalah
Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan
memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia
dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan dalam 2
dosis selama 20 menit.
Diazepam untuk memberantas kejang pada BBL dengan alasan :
a. Efek diazepam hanya sebentar dan
tidak dapat mencegah kejang berikutnya
b. Pemberian bersama-sama dengan
fenobarbital akan mempengaruhi pusat pernafasan
c. Zat pelarut diazepam mengandung
natrium benzoat yang dapat menghalangi peningkatan bilirubin dalam darah.
2.10. Pemeriksaan
Fisik dan Laboratorium
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan
neurologik, pemeriksaan ini dilakukan secara sistematis dan berurutan seperti
berikut :
1.
Pada
kejang multifokal yang berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya
menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
2.
Kesadaran
tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti nafas,
kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan
terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan
intraventikular.
3.
Pada
kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang
disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan
adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan
sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun,
perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang
disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
4.
Terdapatnya
stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang mungkin
disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
5.
Pemeriksaan
funduskopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau subhialoid yang merupakan
gejala potogonomik untuk hematoma subdural. Ditemukannya korioretnitis dapat
terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan rubella. Tanda stasis
vaskuler dengan pelebaran vena yang berkelok – kelok di retina terlihat pada
sindom hiperviskositas.
6.
Transluminasi
kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural atau
kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
7.
Pemeriksaan
umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising jantung,
yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.
b. Pemeriksaan laboratorium
Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium segera, berupa
pemeriksaan gula dengan cara dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal ini berguna
untuk menentukan sikap terhadap pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterilisasi.
Selain itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu:
Selain itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu:
1)
Pemeriksaan
darah rutin ; Hb, Ht dan Trombosit. Pemeriksaan darah rutin secara berkala
penting untuk memantau pendarahan intraventikuler.
2)
Pemeriksaan
gula darah, kalsium, magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan analisis gas
darah.
3)
Fungsi
lumbal, untuk menentukan perdarahan, peradangan, pemeriksaan kimia. Bila cairan
serebro spinal berdarah, sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan
supranatan berwarna kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk mengatasi
terjadinya trauma pada fungsi lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah
pada ketiga tabung yang diisi cairan serebro spinal
4)
Pemeriksaan
EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia
5)
Pemeriksaan
EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan untuk
menentukan pragnosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG latar
belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan brust
supresion atau bentuk isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak baik dan
hanya 12 % diantaranya mempunyai / menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan
EEG dapat juga digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan. EEG pada bayi
prematur dengan kejang tidak dapat meramalkan prognosis.
6)
Bila
terdapat indikasi, pemeriksaan lab, dilanjutkan untuk mendapatkan diagnosis
yang pasti yaitu mencakup :
a.
Periksaan
urin untuk asam amino dan asam organic
b.
Biakan
darah dan pemeriksaan liter untuk toxoplasmosis rubella, citomegalovirus dan
virus herpes.
c.
Foto
rontgen kepala bila ukuran lingkar kepala lebih kecil atau lebih besar dari
aturan baku
d.
USG
kepala untuk mendeteksi adanya perdarahan subepedmal, pervertikular, dan
vertikular. Penataan kepala untuk mengetahui adanya infark, perdarahan
intrakranial, klasifikasi dan kelainan bawaan otak
e.
Top
coba subdural, dilakukan sesudah fungsi lumbal bila transluminasi positif
dengan ubun – ubun besar tegang, membenjol dan kepala membesar.
2.10.ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A.
Pengkajian
Yang paling penting peran perawat selama pasien kejang
adalah observasi kejangnya dan gambarkan kejadiannya. Setiap episode kejang
mempunyai karakteristik yang berbeda misal adanya halusinasi (aura), motor efek
seperti pergerakan bola mata , kontraksi otot lateral harus didokumentasikan
termasuk waktu kejang dimulai dan lamanya kejang.
Riwayat penyakit juga memegang peranan penting untuk
mengidentifikasi faktor pencetus kejang untuk pengobservasian sehingga bisa
meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan oleh kejang.
1. Aktivitas / istirahat : keletihan,
kelemahan umum, perubahan tonus / kekuatan otot. Gerakan involunter
2. Sirkulasi : peningkatan nadi,
sianosis, tanda vital tidak normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan
3. Integritas ego : stressor eksternal
/ internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau penanganan, peka
rangsangan.
4. Eliminasi : inkontinensia episodik,
peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter
5. Makanan / cairan : sensitivitas
terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang,
kerusakan jaringan lunak / gigi
6. Neurosensor : aktivitas kejang
berulang, riwayat trauma kepala dan infeksi serebra
7. Riwayat jatuh / trauma
B.
Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul
1.
Resiko
tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan
koordinasi otot.
2.
Resiko
tinggi terhadap infektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular
3.
Resiko
kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
4.
Kerusakan
mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan
5.
Kurang
pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi
C.
INTERVENSI
Diagnosa
1.
Resiko
tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi
otot.
Tujuan: Cidera / trauma tidak terjadi
Kriteria hasil:
Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan pengobatan,
meningkatkan keamanan lingkungan
Intervensi:
-
Kaji
dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang.
-
Observasi
keadaan umum, sebelum, selama, dan sesudah kejang.
-
Catat
tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi.
-
Lakukan
penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang.
-
Lindungi
klien dari trauma atau kejang.
-
Berikan
kenyamanan bagi klien.
-
Kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian therapi anti compulsan
Diagnosa 2
Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d
kerusakan neuromuskular
Tujuan : Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi
Tujuan : Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi
Kriteria hasil:
Jalan napas bersih dari sumbatan, suara napas vesikuler,
sekresi mukosa tidak ada, RR dalam batas normal
Intervensi
-
Observasi
tanda-tanda vital, atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler.
-
Lakukan
penghisapan lendir,
-
Kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian therapy
Diagnosa 3
Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
Tujuan
Aktivitas kejang tidak berulang
Aktivitas kejang tidak berulang
Kriteria hasil:
Kejang dapat dikontrol, suhu tubuh kembali normal
Intervensi
-
Kaji
factor pencetus kejang.
-
Libatkan
keluarga dalam pemberian tindakan pada klien.
-
Observasi
tanda-tanda vital.
-
Lindungi
anak dari trauma.
-
Berikan
kompres dingin pada daerah dahi dan ketiak.
Diagnosa 4
Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan
kekuatan
Tujuan
Kerusakan mobilisasi fisik teratasi
Kerusakan mobilisasi fisik teratasi
Kriteria hasil:
Mobilisasi fisik klien aktif , kejang tidak ada, kebutuhan
klien teratasi
Intervensi
-
Kaji
tingkat mobilisasi klien.
-
Kaji
tingkat kerusakan mobilsasi klien.
-
Bantu
klien dalam pemenuhan kebutuhan.
-
Latih
klien dalam mobilisasi sesuai kemampuan klien.
-
Libatkan
keluarga dalam pemenuhan kebutuhan klien.
Diagnosa 5
Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi
Tujuan
Pengetahuan keluarga meningkat
Pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria hasil:
Keluarga mengerti dengan proses penyakit kejang demam,
keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi
klien.
Intervensi
-
Kaji
tingkat pendidikan keluarga klien.
-
Kaji
tingkat pengetahuan keluarga klien.
-
Jelaskan
pada keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui penkes.
-
Beri
kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang belum dimengerti. Libatkan
keluarga dalam setiap tindakan pada klien.
D.
EVALUASI
1. Cidera / trauma tidak terjadi
2. Inefektifnya bersihan jalan napas
tidak terjadi
3. Aktivitas kejang tidak berulang
4. Kerusakan mobilisasi fisik teratasi
5. Pengetahuan keluarga meningkat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar