Kamis, 18 April 2013

Kejang Demam



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Kejang adalah pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel syaraf cortex serebral yang ditandai dengan serangan yang tiba-tiba (Marillyn, Doengoes. 1999). Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan (Betz & Sowden,2002). Kejang demam merupakan kejang yang cukup sering dijumpai pada anak–anak yang berusia dibawah 5 tahun, gejala–gejala yang timbul dapat bermacam–macam tergantung dibagian otak mana yang terpengaruh, tetapi kejang demam yang terjadi pada anak adalah kejang umum .
Insidensi kejang demam di berbagai negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa barat mencapai 2 – 4 % sedangkan di negara–negara Asia jumlah penderitanya lebih tinggi lagi. Sekitar 20 % diantara jumlah penderita mengalami kejang kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti.
Faktor resiko utama yang umum menimpa anak balita usia 3 bulan sampai 5 tahun ini adalah demam tinggi. Bisa diakibatkan oleh infeksi ekstrakranial seperti ISPA, radang telinga, campak, cacar air. Dalam keadaan demam, kenaikan suhu tubuh sebesar 1 0C pun bisa mengakibatkan kenaikan metabolisme basal yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen jaringan sebesar 10 – 15 % dan otak sebesar 20 %. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka anak akan kejang. Umumnya kejang tidak akan menimbulkan dampak sisa jika kejang tersebut berlangsung kurang dari 5 menit tetapi anak harus tetap mendapat penanganan agar tidak terjadi kejang ulang yang biasanya lebih lama frekuensinya dari kejang pertama. Timbulnya kejang pada anak akan menimbulkan berbagai masalah seperti resiko cidera, resiko terjadinya aspirasi atau yang lebih fatal adalah lidah jatuh ke belakang yang mengakibatkan obstruksi pada jalan nafas.
1.2.  Tujuan
Untuk meningkatkan pengetahuan perawat tentang asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan system neurologis: kejang demam kompleks.













BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun.
Kejang adalah pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel syaraf cortex serebral yang ditandai dengan serangan yang tiba-tiba (Marillyn, Doengoes. 1999). Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan (Betz & Sowden, 2002).
Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu gejala yaitu Kejang berlangsung lama ≥ 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, kejang berulang 2 kali atau lebih dlm 24 jam (ILAE, 1993)
Ada 2 jenis kejang demam :
  1. Kejang demam kompleks : kejang terjadi lebih dari 15 menit, bentuk kejang fokal (hanya sebagian tubuh yang mengalami kejang) atau kejang umum didahului kejang fokal, serta kejang berulang (lebih dari 1x dalam 24 jam)
  2. Kejang demam sederhana : kebalikan dari kejang demam kompleks, terjadi kurang dari 15 menit, bentuk kejang  umum,diikuti oleh periode post-iktal singkat serta kejang tidak berulang
2.2. Etiologi
Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan tetapi umur anak, tinggi dan suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Factor hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang demam mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam pada masa kecilnya.
Semua jenis infeksi bersumber diluar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas terutama tonsillitis dan faringitis, otitis media akut (cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes kesaraf dikepala pada otak akan menyebabkan kejang demam), gastroenteris akut, exantema subitum dan infeksi saluran kemih. Selain itu, imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) juga dapat menyebabkan kejang demam.






2.4.Manifestasi Klinis
Terjadinya kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Namun anak akan terbangun dan sadar kembali setelah beberapa detik atau menit tanpa adanya neurologik.
            Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain : anak mengalami demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba), kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Kejang dapat dimulai dengan terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak dapat menangis atau merintih akibat kekuatan kontraksi otot.anak akan jatuh apabila dalam keadaan berdiri.
            Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya) gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.

Saat kejang anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti:
1.      Anak hilang kesadaran
2.      Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak
3.      Sulit bernafas
4.      Busa dimulut
5.      Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
6.      Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat
2.5. Komplikasi
Menurut Lumbantobing ( 1995: 31) Dan Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1985: 849-850). Komplikasi kejang demam umumnya berlangsung lebih dari 15 menit yaitu :
  1. Kerusakan otak
Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang aktif sewaktu kejang melepaskan glutamat yang mengikat resptor MMDA ( M Metyl D Asparate ) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang merusak sel neuoran secara irreversible.
  1. Retardasi mental
Dapat terjadi karena deficit neurolgis pada demam neonatus.
2.6. Pencegahan
Menurut Ngastiyah ( 1997: 236-239) pencegahan difokuskan pada pencegahan kekambuhan berulang dan penegahan segera saat kejang berlangsung.
1.      Pencegahan berulang
a.       Mengobati infeksi yang mendasari kejang
b.      Penkes tentang
1)      Tersedianya obat penurun panas yang didapat atas resep dokter
2)      Tersedianya obat pengukur suhu dan catatan penggunaan termometer, cara pengukuran suhu tubuh anak, serta keterangan batas-batas suhu normal pada anak ( 36-37ºC)
3)        Anak diberi obat anti piretik bila orang tua mengetahuinya pada saat mulai demam dan jangan menunggu sampai meningkat
4)        Memberitahukan pada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah mengalami kejang demam bila anak akan diimunisasi.
a.       Mencegah cedera saat kejang berlangsung kegiatan ini meliputi :
a.       Baringkan pasien pada tempat yang rata
b.      Kepala dimiringkan unutk menghindari aspirasi cairan tubuh
c.       Pertahankan lidah untuk tidak menutupi jalan napas
d.      Lepaskan pakaian yang ketat
e.       Jangan melawan gerakan pasien guna menghindari cedera
2.7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Komite Medik RSUP Dr. sardjito ( 2000:193) dan LUmbantobing dan Ismail (1989 :43), pemeriksaannya adalah :



1)      EEG
Pemeriksaan EEG dibuat 10-14 hari setelah bebas panas tidak menunjukan kelainan likuor. Gelombang EEG lambat didaerah belakang dan unilateral menunjukan kejang demam kompleks.
2)      Lumbal Pungsi
Tes ini untuk memperoleh cairan cerebrospinalis dan untuk mengetahui keadaan lintas likuor. Tes ini dapaat mendeteksi penyebab kejang demam atau kejang karena infeksi pada otak.
-          Pada kejang demam tidak terdapat gambaran patologhis dan pemeriksaan lumbal pungsi
-          Pada kejang oleh infeksi pada otak ditemukan  :
a)      Warna cairan cerebrospinal : berwarna kuning, menunjukan pigmen kuning santokrom
b)      Jumlah cairan dalam cerebrospinal menigkat lebih dari normal (normal bayi 40-60ml, anak muda 60-100ml, anak lebih tua 80-120ml dan dewasa 130-150ml)
c)      Perubahan biokimia : kadar Kalium menigkat ( normal dewasa 3.5-5.0 mEq/L, bayi 3.6-5.8mEq/L)
2.8.Diagnosa Banding
Adapun diagnosis banding kejang pada anak adalah :
1.      Gemetar
Gemetar merupakan bentuk klinis kejang pada anak tetapi sering membingungkan terutama bagi yang belum berpengalaman. Keadaan ini dapat terlihat pada anak normal dalam keadaan lapar seperti hipoglikemia, hipokapnia dengan hiperiritabilitas neuromuskular, bayi dengan ensepalopati hipoksik iskemi dan BBLR. Gemetar adalah gerakan tremor cepat dengan irama dan amplitudo teratur dan sama, kadang-kadang bentuk gerakannya menyerupai klonik .
2.      Apnea
Pada BBLR biasanya pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti napas 3-6 detik dan sering diikuti hiper sekresi selama 10 – 15 detik. Berhentinya pernafasan tidak disertai dengan perubahan denyut jantung, tekanan darah, suhu badan, warna kulit. Bentuk pernafasan ini disebut pernafasan di batang otak. Serangan apnea selama 10 – 15 detik terdapat pada hampir semua bagi prematur, kadang-kadang pada bayi cukup bulan.
Serangan apnea tiba-tiba yang disertai kesadaran menurun pada BBLR perlu di curigai adanya perdarahan intrakranial dengan penekanan batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera dilakukan. Serangan Apnea yang termasuk gejala kejang adalah apabila disertai dengan bentuk serangan kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia.
3.      Mioklonus Nokturnal Benigna
Gerakan terkejut tiba-tiba anggota gerak dapat terjadi pada semua orang waktu tidur. Biasanya timbul pada waktu permulaan tidur berupa pergerakan fleksi pada jari persendian tangan dan siku yang berulang. Apabila serangan tersebut berlangsung lama dapat dapat disalahartikan sebagai bentuk kejang klonik fokal atau mioklonik. Mioklonik nokturnal benigna ini dapat dibedakan dengan kejang dan gemetar karena timbulnya selalu waktu tidur tidak dapat di stimulasi dan pemeriksaan EEG normal. Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan
2.9.      Penatalaksanaan
Pada umumnya kejang pada BBLR merupakan kegawatan, karena kejang merupakan tanda adanya penyakit mengenai susunan saraf pusat, yang memerlukan tindakan segera untuk mencegah kerusakan otak lebih lanjut.
Penatalaksanaan Umum terdiri dari :
a.    Mengawasi bayi dengan teliti dan hati-hati
b.   Memonitor pernafasan dan denyut jantung
c.    Usahakan suhu tetap stabil
d.   Perlu dipasang infus untuk pemberian glukosa dan obat lain
e.    Pemeriksaan EEG, terutama pada pemberian pridoksin intravena
Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera dilakukan. Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 – 4 ml/kg BB secara intravena dan perlahan kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa 10 % sebanyak 60 – 80 ml/kg secara intravena. Pemberian Ca – glukosa hendaknya disertai dengan monitoring jantung karena dapat menyebabkan bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 % sebanyak 10 ml per oral setiap sebelum minum susu.
Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat muncul.
Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik seperti hipoglikemia atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan utama untuk bayi baru lahir adalah Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia dan anoxia). Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg . kg BB IV berikan dalam 2 dosis selama 20 menit.
Diazepam untuk memberantas kejang pada BBL dengan alasan :
a.    Efek diazepam hanya sebentar dan tidak dapat mencegah kejang berikutnya
b.   Pemberian bersama-sama dengan fenobarbital akan mempengaruhi pusat pernafasan
c.    Zat pelarut diazepam mengandung natrium benzoat yang dapat menghalangi peningkatan bilirubin dalam darah.
2.10.  Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium
a.    Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologik, pemeriksaan ini dilakukan secara sistematis dan berurutan seperti berikut :
1.   Pada kejang multifokal yang berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
2.   Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
3.   Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan yang disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
4.   Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial yang mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
5.   Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau subhialoid yang merupakan gejala potogonomik untuk hematoma subdural. Ditemukannya korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena yang berkelok – kelok di retina terlihat pada sindom hiperviskositas.
6.   Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan subdural atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
7.   Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.
b.   Pemeriksaan laboratorium
Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium segera, berupa pemeriksaan gula dengan cara dextrosfrx dan fungsi lumbal. Hal ini berguna untuk menentukan sikap terhadap pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterilisasi.
Selain itu pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu:
1)   Pemeriksaan darah rutin ; Hb, Ht dan Trombosit. Pemeriksaan darah rutin secara berkala penting untuk memantau pendarahan intraventikuler.
2)   Pemeriksaan gula darah, kalsium, magnesium, kalium, urea, nitrogen, amonia dan analisis gas darah.
3)   Fungsi lumbal, untuk menentukan perdarahan, peradangan, pemeriksaan kimia. Bila cairan serebro spinal berdarah, sebagian cairan harus diputar, dan bila cairan supranatan berwarna kuning menandakan adanya xantrokromia. Untuk mengatasi terjadinya trauma pada fungsi lumbal dapat di kerjakan hitung butir darah merah pada ketiga tabung yang diisi cairan serebro spinal
4)   Pemeriksaan EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia
5)   Pemeriksaan EEG penting untuk menegakkan diagnosa kejang. EEG juga diperlukan untuk menentukan pragnosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang menunjukkan EEG latar belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan brust supresion atau bentuk isoelektrik. Mempunyai prognosis yang tidak baik dan hanya 12 % diantaranya mempunyai / menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan EEG dapat juga digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan. EEG pada bayi prematur dengan kejang tidak dapat meramalkan prognosis.
6)   Bila terdapat indikasi, pemeriksaan lab, dilanjutkan untuk mendapatkan diagnosis yang pasti yaitu mencakup :
a.       Periksaan urin untuk asam amino dan asam organic
b.      Biakan darah dan pemeriksaan liter untuk toxoplasmosis rubella, citomegalovirus dan virus herpes.
c.       Foto rontgen kepala bila ukuran lingkar kepala lebih kecil atau lebih besar dari aturan baku
d.      USG kepala untuk mendeteksi adanya perdarahan subepedmal, pervertikular, dan vertikular. Penataan kepala untuk mengetahui adanya infark, perdarahan intrakranial, klasifikasi dan kelainan bawaan otak
e.       Top coba subdural, dilakukan sesudah fungsi lumbal bila transluminasi positif dengan ubun – ubun besar tegang, membenjol dan kepala membesar.
2.10.ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A.    Pengkajian
Yang paling penting peran perawat selama pasien kejang adalah observasi kejangnya dan gambarkan kejadiannya. Setiap episode kejang mempunyai karakteristik yang berbeda misal adanya halusinasi (aura), motor efek seperti pergerakan bola mata , kontraksi otot lateral harus didokumentasikan termasuk waktu kejang dimulai dan lamanya kejang.
Riwayat penyakit juga memegang peranan penting untuk mengidentifikasi faktor pencetus kejang untuk pengobservasian sehingga bisa meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan oleh kejang.
1.      Aktivitas / istirahat : keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus / kekuatan otot. Gerakan involunter
2.      Sirkulasi : peningkatan nadi, sianosis, tanda vital tidak normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan
3.      Integritas ego : stressor eksternal / internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau penanganan, peka rangsangan.
4.      Eliminasi : inkontinensia episodik, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinkter
5.      Makanan / cairan : sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak / gigi
6.      Neurosensor : aktivitas kejang berulang, riwayat trauma kepala dan infeksi serebra
7.      Riwayat jatuh / trauma
B.     Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1.      Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
2.      Resiko tinggi terhadap infektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neoromuskular
3.      Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
4.      Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan
5.      Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi
C.     INTERVENSI
Diagnosa
1.      Resiko tinggi trauma / cidera b/d kelemahan, perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
Tujuan: Cidera / trauma tidak terjadi
Kriteria hasil:
Faktor penyebab diketahui, mempertahankan aturan pengobatan, meningkatkan keamanan lingkungan

Intervensi:
-          Kaji dengan keluarga berbagai stimulus pencetus kejang.
-          Observasi keadaan umum, sebelum, selama, dan sesudah kejang.
-          Catat tipe dari aktivitas kejang dan beberapa kali terjadi.
-          Lakukan penilaian neurology, tanda-tanda vital setelah kejang.
-          Lindungi klien dari trauma atau kejang.
-          Berikan kenyamanan bagi klien.
-          Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi anti compulsan
Diagnosa 2
Resiko tinggi terhadap inefektifnya bersihan jalan nafas b/d kerusakan neuromuskular
Tujuan : Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi


Kriteria hasil:
Jalan napas bersih dari sumbatan, suara napas vesikuler, sekresi mukosa tidak ada, RR dalam batas normal
Intervensi
-          Observasi tanda-tanda vital, atur posisi tidur klien fowler atau semi fowler.
-          Lakukan penghisapan lendir,
-          Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapy
Diagnosa 3
Resiko kejang berulang b/d peningkatan suhu tubuh
Tujuan
Aktivitas kejang tidak berulang

Kriteria hasil:
Kejang dapat dikontrol, suhu tubuh kembali normal
Intervensi
-          Kaji factor pencetus kejang.
-          Libatkan keluarga dalam pemberian tindakan pada klien.
-          Observasi tanda-tanda vital.
-          Lindungi anak dari trauma.
-          Berikan kompres dingin pada daerah dahi dan ketiak.


Diagnosa 4
Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan persepsi, penurunan kekuatan
Tujuan
Kerusakan mobilisasi fisik teratasi
Kriteria hasil:
Mobilisasi fisik klien aktif , kejang tidak ada, kebutuhan klien teratasi
Intervensi
-          Kaji tingkat mobilisasi klien.
-          Kaji tingkat kerusakan mobilsasi klien.
-          Bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan.
-          Latih klien dalam mobilisasi sesuai kemampuan klien.
-          Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan klien.

Diagnosa 5
Kurang pengetahuan keluarga b/d kurangnya informasi
Tujuan
Pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria hasil:
Keluarga mengerti dengan proses penyakit kejang demam, keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi klien.
Intervensi
-          Kaji tingkat pendidikan keluarga klien.
-          Kaji tingkat pengetahuan keluarga klien.
-          Jelaskan pada keluarga klien tentang penyakit kejang demam melalui penkes.
-          Beri kesempatan pada keluarga untuk menanyakan hal yang belum dimengerti. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan pada klien.
D.    EVALUASI
1.      Cidera / trauma tidak terjadi
2.      Inefektifnya bersihan jalan napas tidak terjadi
3.      Aktivitas kejang tidak berulang
4.      Kerusakan mobilisasi fisik teratasi
5.      Pengetahuan keluarga meningkat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar